TAKBIR CINTA ZAHRANA

TAKBIR CINTA ZAHRANA
(Sebuah Novelet Pembangun Jiwa)





Matanya berkaca-kaca. Kalau tidak ada kekuatan iman dalam dada, ia mungkin telah memilih sirna dari dunia. Ujian yang ia derita sangat berbeda dengan orang-orang seusianya. Banyak yang memandangnya sukses. Hidup berkecukupan. Punya pekerjaan yang terhormat dan bisa dibanggakan. Bagaimana tidak, ia mampu meraih gelar master teknik dari sebuah institut teknologi paling bergengsi di negeri ini. Dan kini ia dipercaya duduk dalam jajaran pengajar tetap di universitas swasta terkemuka di ibu kota Provinsi Jawa Tengah: Semarang.
















SATU





Tidak hanya itu, ia juga pernah mendapatkan penghargaan sebagai dosen paling berdedikasi di kampusnya. Ia sangat disegani oleh sesama dosen dan dicintai oleh mahasiswanya. Ia juga disayang oleh keluarga dan para tetangganya. Bagi perempuan seusianya, hampir tidak ada yang kurang pada dirinya. Sudah berapa kali ia mendengar pujian tentang kesuksesannya. Hanya ia seorang yang tahu bahwa sejatinya ia sangat menderita.


Ada satu hal yang ia tangisi setiap malam. Setiap kali bermunajat kepada Sang Pencipta siang dan malam. Ia menangisi takdirnya yang belum juga berubah. Takdir sebagai perawan tua yang belum juga menemukan jodohnya. Dalam keseharian ia tampak biasa dan ceria. Ia bisa menyembunyikan derita dan sedihnya dengan sikap tenangnya.


Ia terkadang menyalahkan dirinya sendiri kenapa tidak menikah sejak masih duduk di S-1 dahulu? Kenapa tidak berani menikah ketika si Gugun yang mati-matian mencintainya sejak duduk di bangku kuliah itu mengajaknya menikah?


Ia dulu memandang remeh Gugun. Ia menganggap Gugun itu tidak cerdas dan tipe lelaki kerdil. Sekarang si Gugun itu sudah sukses jadi pengusaha cor logam dan baja di Klaten. Karyawannya banyak dan anaknya sudah tiga. Gugun sekarang juga punya usaha travel umrah di Jakarta. Setiap kali bertemu, hampir ia tidak berani mengangkat muka.


Kenapa juga ketika selesai S-1 ia tidak langsung menikah? Kenapa ia lebih tertantang masuk S-2 di ITB? Padahal saat itu, temannya satu angkatan, si Yuyun menawarkan kakaknya yang sudah buka kios pakaian dalam di Pasar Beringharjo, Jogja. Saat itu kenapa ia begitu tinggi hati. Ia masih memandang rendah pekerjaan jualan pakaian dalam. Sekarang kakaknya Yuyun sudah punya toko pakaian dan sepatu yang lumayan besar di Jogja. Akhirnya ia menikah dengan seorang santriwati dari Pesantren Al Munawwir, Krapyak.


Dan sekarang telah membuka SDIT di Sleman. Apa sebetulnya yang ia kejar? Kenapa waktu itu ia tidak juga cepat dewasa dan menyadari bahwa hidup ini berproses.


Ia meneteskan air mata. Dulu banyak mutiara yang datang kepadanya ia tolak tanpa pertimbangan. Dan kini mutiara itu tidak lagi datang. Kalaupun ada, seolah-olah sudah tidak lagi tersedia untuknya. Hanya bebatuan dan sampah yang kini banyak datang dan membuatnya menderita batin yang cukup dalam.


Matanya berkaca-kaca. Ketika ia sadar harus rendah hati. Ketika ia sadar prestasi sejati tidaklah semata-mata prestasi akademik. Ketika ia sadar dan ingin mencari pendamping hidup yang baik. Baik bagi dirinya dan juga bagi anak-anaknya kelak. Ketika ia sadar dan ingin menjadi muslimah seutuhnya. Ketika ia menyadari, semua yang ia temui kini, adalah jalan terjal yang panjang yang menguji kesabarannya.


Umurnya sudah tidak muda lagi. Tiga puluh empat tahun. Teman-teman seusianya sudah ada yang memiliki anak dua, tiga, empat, bahkan ada yang lima. Adik-adik tingkatnya, bahkan mahasiswi yang ia bimbing skripsinya sudah banyak yang nikah. Sudah tidak terhitung berapa kali ia menghadiri pernikahan mahasiswinya. Dan ia selalu hanya bisa menangis iri menyaksikan mereka berhasil menyempurnakan separuh agamanya.


Hari ini ia kembali diuji. Seseorang akan datang. Datang kepada orang tuanya untuk meminangnya. Ia masih bimbang harus memutuskan apa nanti. Ia sudah sangat tahu siapa yang akan datang. Dan sebenarnya ia juga sudah tahu apa yang harus ia putuskan. Meskipun pahit ia merasa masih akan bersabar meniti jalan terjal dan panjang sampai ia menemukan mutiara yang ia harapkan. Akan tetapi, bagaimana ia harus kembali memberikan pemahaman kepada ayah-ibunya yang sudah mulai renta?


Handphone-nya berdering. Dengan berat ia angkat.


“Zahrana?”


Suara yang sangat ia kenal. Suara Bu Merlin, atasannya di kampus. Bu Merlin, atau lengkapnya Ir. Merlin Siregar M.T., adalah Pembantu Dekan I. Ia orang kepercayaan Pak Karman. Sejak SMA ia di Semarang, jadi logat Bataknya hampir hilang. Bahasa Jawanya bisa dibilang halus.


“Iya, Bu Merlin,” jawabnya dengan air mata menetes di pipinya.


“Saya dan rombongan Pak Karman sudah sampai Pedurungan. Dua puluh menit lagi sampai.”


“Iya, Bu Merlin,” jawabnya hambar, dengan suara serak.


“Suaramu kok sepertinya serak. Sudahlah, Rana, bukalah hatimu kali ini. Pak Karman memiliki apa yang diinginkan perempuan. Dia sungguh-sungguh berkenan menginginkanmu.”


“Iya, Bu Merlin, semoga keputusan yang terbaik nanti bisa saya berikan.”


“Baguslah kalau begitu. Gitu dulu, ya. O, y, jangan lupa dandan yang cantik.”


Klik. Tanpa salam.


Kali ini yang datang melamarnya bukan orang sembarangan. Pak H. Sukarman, M.Sc., Dekan Fakultas Teknik, orang nomor satu di fakultas tempat dia mengajar. Duda berumur lima puluh lima tahun. Status dan umur baginya tidak masalah. Sudah bertitel haji. Kredibilitas intelektualnya tidak diragukan. Materi tak usah ditanyakan. Di Semarang saja ia punya tiga pom bensin. Akan tetapi soal kredibilitas moralnya, susah Zahrana untuk memaafkannya. Repotnya, jika ia menolak ia sangat susah untuk menjelaskan. Ia harus berkata bagaimana.


Ia telah membicarakan hal ini pada kedua sahabat karibnya. Si Lina, yang kini jualan buku-buku islami di Tembalang. Dan si Wati yang kini jadi istri lurah Tlogosari Kulon. Lina berpendapat untuk tidak mengambil risiko dengan menerima orang amoral seperti Pak Karman itu. Apa pun titel dan jabatannya. Moral adalah nyawa orang hidup. Jika moral itu hilang dari seseorang, ia ibarat mayat yang bergentayangan. Itu pendapat Lina.


Sedangkan Wati lain lagi, menurutnya sudah saatnya ia tidak melangit. Mencari manusia setengah malaikat itu hal yang mustahil. Selama Pak Karman masih salat dan puasa, ya, terima saja. Apalagi ia orang terpandang. Dan juga kesempatan seperti ini tidak selalu datang.


Terakhir Wati bilang, “Siapa tahu dengan menikah denganmu, Pak Karman berubah. Dan di hari tuanya ia sepenuhnya membaktikan umurnya untuk kebaikan. Bukankah itu bagian dari dakwah yang agung pahalanya?”


Ia belum bisa mengambil keputusan. Kata-kata Wati selalu terngiang-ngiang di telinganya. Ia hampir memutuskan untuk menerima saja lamaran Pak Karman. Akan tetapi, jika ia teringat apa yang dilakukan Pak Karman pada beberapa mahasiswi yang dikencaninya diam-diam, ia tak mungkin memaafkan. Jika sudah demikian, tiba-tiba wajah keriput kedua orang tuanya muncul dengan sebuah pertanyaan, "Kowe mikir opo, Nduk? Kowe ngenteni opo? Dadine kapan kowe kawin, Nduk?”


•••


Lima menit sebelum rombongan Pak Karman datang, Zahrana berbicara kepada kedua orang tuanya. Ia minta kepada mereka pengertiannya jika ia nanti mengambil keputusan yang mungkin tidak melegakan mereka berdua. Diberi tahu seperti itu kedua orang tuanya menangkap apa yang akan terjadi. Dan mereka kembali pasrah dalam kekecewaan. Akan tetapi mereka tetap berharap akan terjadi hal yang membahagiakan. Mereka berdoa, kali ini semoga keputusan putri semata wayang mereka lain dari sebelum-sebelumnya. Semoga hatinya terbuka. Segera menikah. Dan segera lahir cucu yang jadi penerus keturunan.


Kamu mikir apa, Anakku? Kamu menunggu apa? Kapan kamu menikah, Anakku?


Ia meneguhkan jiwa, menata hati. Ia juga memprediksi gaya bahasa yang akan disampaikan pihak Pak Karman. Dan menyiapkan bahasa yang tepat untuk menjawab. Ia juga tidak lupa menyiapkan hidangan yang pantas untuk menghormati tamu. Ruang tamu telah ia rapikan. Bunga-bunga ia tata, dan sarung bantal ia ganti dengan yang baru. Tuan rumah harus bisa menjaga kehormatan. Dan ia kembali meneguhkan prinsipnya dalam menghadapi siapa pun: harus tenang, bicara yang tepat, rendah hati dan santun. Itulah senjata para pemenang. Dan ia harus menang. Ia teringat perkataan Napoleon Hill,


"Kebijakan yang sesungguhnya, biasanya tampak melalui kerendahan hati dan tidak banyak cakap."


Ia kini tampak tegar. Tak ada lagi air mata. Mental yang ia siapkan adalah mental seorang dosen pembimbing yang siap maju sidang membela mahasiswanya mempertahankan skripsinya. Ia sangat yakin akan kekuatannya.


Ia berdandan secukupnya. Ia pakai jilbab hijau muda kesayangannya. Sangat serasi dengan gamis bordir hijau tua bermotif bunga melati putih kecil-kecil. Hanya dirinya dan kedua orang tuanya yang akan menyambut. Ia merasa tak perlu mengundang para kerabat. Sebab seperti yang telah lalu, jika terjadi hal yang tidak memuaskan hanya akan jadi gunjingan panjang tak berkesudahan. Ia tak ingin itu terjadi lagi.


Ia ingin para kerabat diundang hanya untuk yang sudah jadi. Yang tak ada ruang bagi mereka berbincang kecuali kebaikan. Kali ini yang ia undang justru dua orang ibu-ibu yang biasa membantu keluarganya selama ini.


Rombongan Pak Karman datang tepat pukul setengah lima sore. Tidak main-main. Empat mobil. Ia harus mengakui kehebatan Bu Merlin mengorganisasi ini semua. Juga keberhasilan Bu Merlin memprovokasi Pak Karman untuk nekat seperti ini. Ayah ibunya tampak kaget. Tidak menduga yang datang akan sebanyak ini dan seserius ini. Untung ruang tamu rumah orang tuanya cukup luas.


Hanya tiga orang yang tidak dapat tempat duduk. Terpaksa duduk di beranda. Ia yakin tujuan Bu Merlin baik, hanya saja Bu Merlin tidak tahu visi hidupnya saat ini. Bukan sekadar materi dan kedudukan yang ia harapkan dari calon suaminya. Ia mencari calon suami yang bisa dijadikan imam. Imam yang menjadi bagian tak terpisahkan dalam ibadahnya kala mengarungi kehidupan. Karena itulah posisinya benar-benar sulit kali ini. Bu Merlinlah yang selama ini banyak membantunya di kampus. Dia jugalah yang dulu memberi bocoran adanya lowongan dosen di kampusnya.


Rombongan telah duduk tenang. Pak Karman mencukur bersih kumis dan cambangnya. Ia tampak lebih muda dari biasanya. Koko biru muda dan peci hitam membuatnya tampak alim. Seorang lelaki setengah baya, mengaku sebagai adiknya Pak Karman, namanya Pak Darmanto mengawali pembicaraan. Unggah-ungguh dan basa-basi berjalan. Ia sendiri lebih banyak diam. Tak bicara jika tidak perlu bicara. Ibunya yang biasanya memang cerewet yang banyak mengimbangi bicara.


Sesekali ada lelucon-lelucon yang menghangatkan suasana. Makanan dan minuman dikeluarkan oleh dua orang ibu-ibu yang rapi berkerudung.


“Tape ketan ini dibuat oleh anakku, si Zahrana ini dengan penuh cinta. Siapa yang memakannya insya Allah awet muda.” Ibunya melucu sambil mempersilakan tamu-tamunya menikmati hidangan seadanya.


Mendengar hal itu spontan Pak Karman berkomentar dengan gaya lucu, “Sebelum yang lain mengambil, saya dulu yang harus mencicipi. Agar awet muda dan bisa menyunting bidadari.”


Spontan perkataan itu disambut tertawa semua yang hadir, kecuali dirinya. Entah kenapa perkataan itu menurutnya tidak lucu. Perkataan itu seperti sampah yang hendak dijejalkan ke telinganya. Bagaimana mungkin ia hidup bersama orang yang suaranya saja tidak mau ia dengar.


Lima belas menit basa-basi akhirnya Pak Darmanto, juru bicara Pak Karman, masuk pada inti kedatangan, “... dan maksud kedatangan kami adalah untuk menyambung persaudaraan dan kekeluargaan dengan keluarga Bapak Munajat. Kami bermaksud menyunting putri Bapak Munajat, yaitu Dewi Zahrana untuk saudara kami Bapak H. Sukarman, M.Sc. Alangkah bahagianya jika maksud dan tujuan kami dikabulkan.”


Ayahnya menjawab dengan suara rentanya yang terbata-bata,


“Pertama...tama, ka...kami sekeluarga menyampaikan rasa terima kasih atas silaturahminya. Kami juga bahagia. Bagi ka…kami lamaran ini adalah suatu bentuk penghormatan. Dan jika bisa kami akan membalasnya dengan penghormatan yang le...lebih baik. Akan tetapi, masalah jodoh hanya Allahlah yang mengatur. Putri kami sudah sangat dewasa. Dia lebih berpendidikan daripada kami berdua. Dia bisa memutuskan sendiri mana yang baik baginya. Itu yang bisa kami sampaikan.”


Masalah sudah jelas. Semua tamu melihat ke arahnya. Ia tahu bola sekarang ada di tangannya. Dialah sekarang yang paling berkuasa di majelis itu. Ia berusaha untuk tenang. Setenang ketika ia membantu argumen mahasiswa yang dibelanya dalam sidang skripsi,


"Saya pernah mendengar Baginda Nabi Muhammad saw., pernah bersabda, 'Al 'ajalatu minasy syaithan. Tergesa-gesa itu datangnya dari setan!' Saya tidak mau tergesa-gesa. Saya tidak mau mengecewakan siapa pun. Termasuk diri saya sendiri. Maka perkenankan saya untuk menjawabnya tiga hari ke depan. Saya akan langsung sampaikan kepada Pak Karman yang saya hormati. Maafkan jika saya tidak bisa menjawab sekarang.”


Ada sedikit gurat kekecewaan di wajah Pak Darmanto dan Pak Karman, tetapi keduanya tidak bisa bersikap apa pun kecuali setuju. Bu Merlin tersenyum tanda setuju. Yang lain bisa memahami dan memaklumi.


Hanya Pak Munajat, ayahnya yang meneteskan air mata mendengar jawaban putrinya itu. Ia sudah tahu ke mana arah perkataan putrinya itu.


Menjelang magrib rombongan itu pamit. Zahrana langsung ke kamarnya mengatur kata yang tepat untuk disampaikan pada Pak Karman. Ia tersenyum, dengan senyum yang susah diartikan.


•••


"Kamu masih nunggu yang bagaimana lagi, Nduk? Pak Karman memang agak tua, tetapi ia berpendidikan dan kaya. Dia juga bisa tampak muda,” kata ibunya yang sudah tahu keputusannya.


"Saya tidak menunggu yang bagaimana-bagaimana, Bu. Saya menunggu lelaki saleh yang pas di hati saya. Itu saja,” jawab Zahrana.


"Lha, Pak Karman itu apa masih kurang saleh. Dia sudah haji. Sudah menyempurnakan rukun Islam. Kita saja belum,” bantah ibunya.


Ia merasa, memang agak susah memahamkan ibunya bahwa kesalehan tidak dilihat dari sudah haji atau belum. Tidak dilihat dari pakai baju koko atau tidak. Tidak bisa dilihat dari pakai peci putih atau peci yang lainnya. Betapa banyak penjahat di negeri ini yang bertitel haji. Setiap tahun haji justru untuk menutupi kejahatannya. Atau malah berhaji untuk melakukan kejahatan di musim haji. Ibunya tidak akan nyambung dia ajak dialog masalah itu.


“Pokoknya menurutku Pak Karman masih kurang. Saya sangat tahu siapa dia, soalnya saya satu kampus dengannya. Nanti kalau ada yang cocok pasti saya menikah, Bu."


Begitu mendengar dari jawabannya ada perkataan "pokoknya", sang ibu langsung diam dengan raut muka sedih. Dalam hati ia istigfar jika telah melukai ibunya.


Namun ia tidak mau asal menikah. Menikah adalah ibadah, tidak boleh asal-asalan. Harus dikuati benar syarat rukunnya. Meskipun ia tahu ia sudah jadi perawan tua yang sangat terlambat menikah, tetapi ia tidak mau gegabah dalam memilih ayah untuk anak-anaknya kelak.


Zahrana masuk kamar dan menulis surat jawaban untuk Pak Karman dengan komputernya. Bahasanya tegas dan lugas:


Kepada

Yth. Bpk. H. Sukarman, M.Sc.

Di Semarang


Assalamualaikum wr. wb.


Semoga Bapak senantiasa sehat dan berada dalam naungan hidayah-Nya.


To the point saja, tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada Bapak, saya ingin menyampaikan bahwa saya belum bisa menerima pinangan Bapak. Semoga Bapak mendapatkan yang lebih baik dari saya. Mohon maklum dan mohon maaf jika tidak berkenan.


Wassalam,

Dewi Zahrana


IA lalu mem-print surat itu dan memasukkannya ke amplop putih. Ia akan minta bantuan seorang mahasiswanya untuk menyampaikan hal itu kepada Pak Karman besok pagi. Dan ia sudah berketetapan akan mengambil cuti satu minggu. Sebab jawaban itu pasti tidak diinginkan oleh Pak Karman. Bahkan pasti sangat mengecewakan Pak Karman. Untuk menjaga hal yang tidak baik, lebih baik ia tidak masuk kampus. Dan kembali masuk jika suasana kembali seperti sediakala.


Apa yang ia rencanakan berjalan. Dan apa yang ia prediksi terjadi. Dua hari kemudian ia mendapatkan pesan singkat dari Pak Karman:


“Suratmu sudah aku terima. Kamu pasti tahu bahwa jawabanmu sangat mengecewakan aku!”


Ia membaca jawaban itu dengan hati tidak enak. Entah kenapa ia merasakan ada aroma jahat dalam setiap huruf-hurufnya dan susunan kalimatnya. Lalu ia mendapat pesan singkat dari Bu Merlin:


“Hari ini saya dicaci maki Pak Karman gara-gara jawabanmu. Saya sungguh kecewa dengan kamu!”


Air matanya meleleh.


“Maafkan aku, Bu Merlin," lirihnya dengan hati perih. Ia merasakan dunia ini begitu sempit. Dinding-dinding kamarnya seakan hendak menggencetnya. Atap kamarnya seakan mau roboh menimpanya. Ia hanya bisa pasrah kepada-Nya dan memohon kekuatan untuk tetap kuat dan tegar di jalan-Nya.


•••
















DUA





Firasatnya benar. Lima hari setelah ia mengirim jawaban itu, Bu Merlin datang ke rumahnya. Saat itu ia masih mengambil cuti. Bu Merlin datang dengan mimik serius. Mimik yang ditakuti oleh para bawahannya, apalagi para mahasiswa. Pembantu Dekan I di kampusnya itu berkata,


“Zahrana, kamu memang bebas menentukan pilihanmu. Namun, terus terang saya tidak mengerti apa maumu. Saya tak perlu berdusta padamu, saya sangat kecewa padamu. Padahal saya telah berusaha melakukan yang terbaik, untukmu dan juga untuk Pak Karman. Akan tetapi agaknya ini semua berantakan karena keangkuhanmu.”


"Bu, tolong Ibu juga mengerti saya. Saya telah berusaha menata hati dan jiwa untuk menerima Pak Karman. Saya tidak mau karena saya sudah terlambat menikah, lantas saya menikah untuk seolah-olah bahagia. Saya tidak mau batin saya justru menderita. Karena saya benar-benar tidak bisa menerima Pak Karman. Saya tidak mau, setelah menikah sosok Pak Karman justru jadi monster yang menghantui saya setiap saat. Saya sama sekali tidak bisa mencintainya, Bu. Meskipun sebutir zarah. Ibu kan juga seorang perempuan. Saya mohon Ibu bisa memaklumi.”


Zahrana menjawab panjang lebar dengan mengajak bicara dari hati ke hati.


"Kalau masalahnya sudah cinta. Tak ada orang di muka bumi ini yang bisa memaksa. Meskipun saya kecewa saya tetap menginginkan yang terbaik untukmu. Sejak mengenalmu aku tahu kau orang baik. Begini, Zahrana, saya lihat gelagat Pak Karman berniat memecatmu dengan satu tuduhan serius yang akan sangat mempermalukanmu. Ia mengisyaratkan hal itu kemarin setelah membaca suratmu. Sekadar saran dariku, lebih baik kau mundur dengan terhormat daripada dipecat! Jika marah, Pak Karman bisa lupa bumi di mana ia berpijak."


"Apa, Bu? Mundur?" jawab Zahrana dengan nada kaget.


"Iya, Zahrana. Sebaiknya kau mengundurkan diri saja. Itu saranku sebagai orang yang sangat paham peta politik di kampus."


"Tidak, Bu. Jika terjadi ketidakadilan, akan saya lawan sampai titik darah penghabisan!"


"Zahrana, kamu ternyata tidak tahu benar peta politik kampus. Tidak tahu benar siapa Pak Karman. Jika kau nekat itu ibarat ulo marani gitik. Ibarat ular mendekat untuk dipukul sampai mati. Mundurlah dulu. Bertiaraplah sementara waktu. Ini yang kulihat baik untukmu. Saya berjanji suatu saat nanti jika saya ada kemampuan, kamu akan saya tarik lagi ke kampus. Kali ini percayalah padaku. Saya tidak rela orang sebaik kamu jadi bulan-bulanan kesewenang-wenangan yang sudah saya cium dari sekarang."


Zahrana akhirnya paham dengan apa yang disampaikan Bu Merlin. Dari nada dan tutur kata yang disampaikan, ia melihat ada kesungguhan dan ketulusan.


Namun ia belum bisa mengambil sikap dengan cepat. Sekali lagi ia harus tenang dan tidak gegabah, "Baiklah, Bu. Saya mengerti. Akan saya pikirkan matang-matang saran Ibu. Saya sangat berterima kasih.”


"Saya harap begitu. Kalau begitu saya pamit dulu. Masih ada urusan yang harus saya kerjakan,” kata Bu Merlin.


•••


Zahrana sadar Bu Merlin masih tetap menyimpan rasa sayang padanya, meskipun ia telah mengecewakannya. Bu Merlin juga tetap setia pada prinsip hidupnya: Memaksimalkan manfaat meminimalisasi konflik. Jika masih ada jalan menghindari konflik, maka jalan itulah yang harus ditempuh.


Setelah Bu Merlin pergi Zahrana langsung mengendarai sepeda motornya ke rumah Lina, temannya paling akrab sejak di SMP sampai Perguruan Tinggi. Ia perlu orang yang bisa diajak bicara memutuskan masalahnya.


"Apa sejahat itu Pak Karman?" tanya Lina pada Zahrana.


"Aku tak ingin membicarakan kejahatannya. Yang jelas, apa yang sebaiknya kulakukan setelah mendengar saran Bu Merlin?”


"Yang paling penting menurutku adalah, apa kau percaya dengan apa yang disampaikan Bu Merlin?"


Zahrana menjawab dengan memandang lekat-lekat teman karibnya itu,


"Sampai saat ini saya belum pernah dibohongi Bu Merlin. Saya percaya padanya."


"Kalau begitu masalahnya jelas. Pak Karman itu sedang sangat tersinggung dan marah besar karena kamu tolak. Dia merasa tidak nyaman berada satu atap denganmu di kampus. Dan Bu Merlin melihat dia akan membuat perhitungan denganmu."


"Jadi?"


"Kalau aku jadi kau, aku memilih mengundurkan diri dengan baik-baik, daripada dipecat dengan membawa nama tercemar. Pak Karman tentu lebih kuat posisinya daripada kamu. Ingat, dia orang nomor satu di Fakultas tempat kamu mengajar."


"Aku tahu. Akan tetapi jika aku keluar, lantas nanti apa yang harus aku katakan pada ayah dan ibu?"


"Kau kayak anak kecil aja. Cari pekerjaan baru. Dengan begitu kau bisa berdalih degan seribu alasan yang menyejukkan mereka. Bisa kau katakan tidak kerasan lagi di kampus. Cari pengalaman baru dan sebagainya."


Akhirnya ia mantap untuk mengundurkan diri.


"Kau benar, Lin. Besok aku akan mengundurkan diri."


"Nanti kubantu cari pekerjaan yang cocok untukmu."


"Kau memang sahabatku yang baik, Lin."


•••


Pagi itu Zahrana datang ke kampus dengan membawa dua pucuk surat pengunduran dirinya. Satu untuk rektor dan satu untuk dekan. Pak Karman sedang rapat dengan rektor. Itu kesempatan baginya untuk mengemasi barang-barangnya. Teman-temannya sesama dosen banyak yang kaget.


"Kami tahu dari Ibu Merlin bahwa kamu menolak lamaran Pak Karman. Apa karena itu terus kamu juga harus mundur dari kampus?" tanya Pak Didik, dosen mata kuliah struktur beton yang meja kerjanya paling dekat dengannya.


"Saya hanya ingin cari suasana baru dan pengalaman baru. Mungkin saya akan mencoba kerja di sebuah perusahaan,” jawab Zahrana sekenanya sambil merapikan berkas-berkasnya.


"Apa ini benar-benar sudah keputusan final?"


"Ya. Final."


"Kami tak berhak menahanmu. Meskipun kami sangat kehilangan kamu jika kamu keluar. Tidak banyak pengajar yang seahli kamu. Jika nanti kamu ingin kembali ke kampus ini, jangan segan-segan. Kami para dosen akan mendukungmu."


"Terima kasih, Pak Didik. Maafkan saya jika selama ini banyak berbuat salah."


"Sama-sama."


Setelah barang-barangnya rapi, ia meletakkan surat pengunduran dirinya di meja kerja Pak Karman. Lalu mencari mahasiswi yang bisa membantunya mengangkat barang. Di koridor ia bertemu dengan mahasiswi berjilbab hitam.


"Nina!"


"Ya, Bu Rana."


"Bisa bantu saya sebentar?"


"Bisa, Bu.”


"Kalau begitu cari tiga teman, dan segera ke ruang kerja saya. Saya minta bantuannya sedikit."


"Baik, Bu."


Ia lalu balik ke ruang kerjanya.


"Pak Didik?"


"Ya, Bu Rana."


"Saya minta tolong, surat pengunduran ini disampaikan ke Pak Rektor begitu saya pergi. Data-data saya di komputer ini nanti diselamatkan, ya, Pak. Terus saya minta tolong dicarikan taksi."


"O, bisa, Bu."


Lima menit kemudian tiga orang mahasiswi berjilbab, dan dua orang mahasiswa datang. Kepada mereka Zahrana menjelaskan bahwa dirinya akan mengundurkan diri dari kampus itu.


"Kenapa, Bu?" tanya Nina, mahasiswinya yang aktif di Lembaga Pers Kampus.


"Tidak apa-apa. Hanya ingin cari suasana baru saja."


"Tidak karena tekanan seseorang kan, Bu?" tanya mahasiswa berbaju biru tua kotak-kotak.


"Tidak. Ini murni keinginan Ibu. Mana ada yang berani menekan Ibu tho, San,” jawab Zahrana pada mahasiswa bernama Hasan.


"Kalau Ibu mundur, skripsi saya bagaimana, Bu?" tanya mahasiswa itu lagi.


"O, tenang, San. Nanti kamu menghubungi Bu Merlin dan Pak Didik, ya. Mereka akan membantumu. Insya Allah.”


"Saya masih boleh konsultasi pada Ibu tho. Meskipun Ibu tidak di kampus ini lagi?"


"Boleh, San. Kalian semua Ibu persilakan dolan ke rumah Ibu kapan saja,” kata Zahrana sambil memandang wajah mahasiswanya satu per satu. Zahrana lalu meminta mereka mengangkat barang-barangnya ke luar gedung.


Tak lama taksi datang. Zahrana pun meninggalkan kampus itu dengan membawa seluruh barang-barangnya.


Begitu selesai rapat, Pak Karman kembali ke ruang kerjanya. Keputusannya sudah mantap yaitu memecat Zahrana dengan beberapa tuduhan serius, di antaranya: tidak disiplin. "Perawan tua itu harus diberi pelajaran!" geramnya dalam hati.


Ketika ia duduk di kursinya, ia menangkap sepucuk surat tergeletak di atas meja kerjanya. Ia baca surat itu. Kemarahannya seketika meluap,


"Kurang ajar!" Ia seperti petinju yang hampir meng-KO lawan, tiba-tiba malah dipukul KO. Ia sama sekali tidak memperhitungkan Zahrana akan membuat keputusan nekat itu.


Namun ia tetap akan membuat perhitungan dengan satu-satunya dosen Fakultas Teknik yang masih gadis itu.


•••


Tak perlu waktu lama bagi Zahrana untuk mendapatkan pekerjaan baru. Dari seorang teman ia mendapatkan informasi bahwa STM Al-Fatah Mranggen, Demak, sedang membutuhkan seorang guru baru yang profesional untuk mendongkrak prestasi. STM Al-Fatah berada di payung Yayasan Pesantren Al-Fatah. Pesantren besar yang terkenal di Mranggen. Ia mengajukan lamaran dan hari itu juga ia diterima.


Kepala sekolahnya yang masih keturunan pendiri Pesantren Al-Fatah sangat senang. Pengalaman mengajar Zahrana ketika mengajar di fakultas tinggi universitas swasta terkemuka di Semarang adalah jaminan kualitas.


Sejak hari itu Zahrana mengajar siswa-siswa yang sebagian besar adalah santri. Ia berusaha mendalami kultur dan budaya santri. Sebab sejak kecil ia belum pernah menjadi santri sama sekali. Ia merasakan nuansa yang berbeda antara mengajar santri dan mengajar mahasiswa. Ada tantangan tersendiri mengajar santri yang masih banyak menganggap ilmu eksakta tidak penting, yang menganggap "ilmu umum" lainnya juga tidak penting.


Dianggap tidak penting, karena para santri berpikiran bahwa ilmu eksakta dan "ilmu umum", kelak tidak akan ditanyakan di akhirat. Bagi mereka, yang terpenting adalah "ilmu agama", karena ilmu itulah yang akan dibawa hingga akhirat nanti. Pikiran yang perlu diluruskan.


Dan Zahrana tertantang untuk meluruskannya. Ia merasa mengajar di lingkungan pesantren lebih menenteramkan. Entah kenapa? Apa karena dekat dengan banyak ulama? Atau karena memang di pesantren tempat ia mengajar tidak ada manusia seperti Pak Karman yang dalam pandangannya sangat-sangat durjana. Hari-harinya ia lalui dengan lebih tenang dan tenteram. Ilmu S-2-nya ia rasa tidak benar-benar hilang tanpa guna. Sebab ia juga diterima sebagai konsultan sebuah perusahaan properti. Ia juga masih sering didatangi mahasiswanya.


Yang masih sering datang adalah mahasiswanya yang bernama Hasan. Tugas Akhir Hasan memang di bawah bimbingannya. Akan tetapi setelah ia keluar, tugas pembimbingan diambil alih oleh Bu Merlin. Hasan dan teman-temannya masih suka datang untuk konsultasi dan meminjam referensi. Ia merasa senang dengan kedatangan mereka. Ia merasa mereka seperti adiknya sendiri.


Suatu siang ayahnya bertanya, mengapa ia meninggalkan kampus dan memilih mengajar di STM Al-Fatah yang gajinya jauh lebih kecil.


Ia menjawab, "Ingin mencari ketenangan dengan dekat kiai dan para santri."


Ayahnya hanya mendesah tanda tidak setuju.


Namun ia kemudian berusaha menghibur, "Yang kedua, Yah, Zahrana berharap mengajar di lingkungan pesantren jadi jalan bagi Zahrana menemukan jodoh Zahrana. Bertahun-tahun di kampus jodoh yang Zahrana harap tidak juga datang."


Wajah ayahnya itu sedikit cerah, "Semoga harapanmu terkabul. Kalau perlu kamu harus berani minta tolong pada Pak Kiai. Siapa tahu beliau bisa membantu menemukan jodohmu."


"Iya, Yah. Mohon doanya terus.”


"Tanpa kamu minta pun kami terus mendoakanmu siang dan malam, Anakku."


"Terima kasih, Ayah."


•••


Malam itu, setelah memeriksa tugas-tugas anak didiknya, Zahrana membuka komputer. Ia hendak berselancar di dunia maya internet. Ia ingin melihat, apakah ada email yang masuk? Apakah ada berita yang menarik? Dan ia mau membuat blog. Siapa tahu dengan membuat blog ia bisa menemukan jodohnya.


Baru saja menyalakan komputer ponselnya berdering beberapa kali. Ada tiga pesan singkat yang masuk. Ia membukanya:


"Sedang apa perawan tua?"


"Ternyata jadi perawan tua itu indah."


"Jangan-jangan jilbabmu itu kedok untuk menutupi daging tuamu yang sudah busuk dikerubungi lalat!"


Zahrana tersentak dan geram. Sebuah teror. Teror paling primitif, dengan kata-kata yang merendahkan dan menyakitkan. Ia periksa nomornya. Nomor yang tidak ia kenal. Ia nyaris membalas pesan singkat itu dengan kata-kata yang sama pedasnya, tetapi ia urungkan. Ia sudah bisa menduga kira-kira dari mana pesan singkat itu berasal. Akhirnya ia memilih diam. Diam tanpa pernah menganggap pesan singkat itu ada. Ia merasa diam adalah senjata paling ampuh.


Menanggapi omongan orang gila berarti ikut jadi gila. Menanggapi sikap orang dungu berarti ikut jadi dungu. Internetnya sudah terkoneksi. Lima email dari teman-temannya sesama dosen. Semuanya menyayangkan keputusannya meninggalkan kampus. Dan semuanya mendoakan semoga sukses dengan pilihannya.


Ponselnya kembali berdering. Dua kali. Ia buka.


"Apa kabar, Perawan Tua?"


"Kelapa itu semakin tua semakin banyak santannya. Banggalah jadi perawan tua!"


Ia meneteskan air mata. Tubuhnya bergetar. Hatinya sakit. Akan tetapi ia harus menang. Diam adalah senjata pamungkasnya untuk menang. Ia tidak akan meladeni kata-kata yang tidak mencerminkan datang dari orang terdidik itu. Akhirnya, ia matikan ponselnya. Ia memilih asyik berselancar di dunia maya.


Ia buka alamat emailnya yang lain. Ada dua email. Yang satu dari sebuah komunitas milis, memanggilnya untuk ikut milis. Dan satunya dari Pak Didik. Ia jadi bertanya, ada apa dengan Pak Didik? Baru kali ini Pak Didik mengirim email kepadanya.


Ia buka email itu: Subjeknya: SEBUAH TAWARAN, JIKA BERKENAN. Baru dikirim beberapa jam yang lalu.


Ia membacanya dengan sedikit rasa penasaran. Tawaran apa yang dimaksud Pak Didik, yang celananya selalu di atas mata kaki itu?


Assalamu'alaikum wr. wb.


Semoga Ibu Zahrana sukses dan berbahagia selalu. Amin. Sebelumnya mohon maaf jika email saya ini mengganggu. Sebenarnya sudah lama saya ingin mengirim email ini tetapi terhambat karena beberapa sebab. Hari ini saya merasa hari yang tepat saya mengirim email ini untuk memberikan sebuah tawaran kepada Ibu Zahrana. Maaf terpaksa saya sampaikan lewat email, sebab jika saya sampaikan langsung secara lisan takut terjadi salah paham. Karena bahasa tulisan bisa diedit sementara bahasa lisan tidak.


Bu Zahrana, setelah mengetahui lebih detail tentang Ibu, juga apa yang Ibu cari selama ini saya memberanikan untuk mengajukan diri. Mengajukan diri untuk menjadi suami Ibu. Maaf, to the point saja, Bu. Saya menawarkan kepada Ibu, sekali lagi maaf jika dianggap lancang, untuk menjadi istri kedua saya. Saya yakin istri saya bisa menerimanya nanti.


Saya akan berusaha adil sebagai suami. Terus terang, sebenarnya yang saya harapkan adalah seorang istri yang educated dan cerdas seperti Bu Zahrana. Bukan yang bisanya cuma arisan seperti istri saya saat ini. Akan tetapi karena sudah punya dua anak, tidak mungkin saya meninggalkan dia.


Saya yakin dengan kita membina rumah tangga bersama, kita bisa bersinergi. Kita bisa saling memberi dan memaksimalkan potensi. Ini harapan saya. Semoga Ibu berkenan dengan harapan ini.


Saya kira cukup sekian dulu surat ini. Jika ada salah kata mohon maaf. Tawaran saya ini mohon tidak diartikan sebagai pelecehan. Sama sekali saya tidak bermaksud seperti itu. Saya bermaksud kita saling memberi manfaat. Itu saja. Akhirul kalam,


Wassalamu'alaikum Wr. Wb.





Hormat saya,

Didik Hamdani, M.T.


Zahrana membaca email itu dengan tubuh bergetar, mata berkaca-kaca. Ia tidak tahu apa yang ia rasakan. Yang jelas, bukan bahagia. Ia merasa betapa tidak mudah menjadi gadis yang terlambat menikah. Dan betapa susah menjadi wanita.


Jika Pak Didik itu tidak memiliki istri, katakanlah duda sekalipun, tawaran itu mungkin akan sedikit menjadi jendela harapan di hatinya. Akan tetapi ia harus dijadikan yang kedua. Ia tidak tega. Ia tidak tega pada perasaan yang akan dialami istri Pak Didik. Dan ia juga tidak tega pada perasaan kedua orang tuanya. Mereka semua tidak siap untuk itu. Bahkan jika mau jujur, ia sendiri "belum siap", atau lebih tegasnya "tidak siap" menjadi istri kedua. Sakit rasanya. Bagaimanapun ia adalah wanita biasa. Ia adalah perempuan Jawa pada umumnya, yang benar-benar "tidak siap", atau lebih tepatnya "tidak mau" dijadikan istri kedua. Atau "tidak mau" dimadu.


Ia membayangkan, alangkah tersiksanya, misalnya, bila ia menerima tawaran Pak Didik itu, ternyata istrinya tidak setuju. Istrinya itu lantas melabraknya dan mengatakan kepadanya,


"Hai, perawan tua tengik! Memang di dunia ini sudah tidak ada lelaki sehingga kamu tega merampas suami orang! Dasar perawan tua! Suka merusak pagar ayu orang saja!"


Ia tidak tahu akan menjawab apa.


Maka begitu ia selesai membaca email itu, yang ia lakukan adalah men-delete-nya tanpa me-reply sama sekali. Ia menganggap email itu tak pernah ada. Matanya masih berkaca-kaca.


•••
















TIGA





Bumi terus berputar pada porosnya. Detik berkumpul menjadi menit. Menit berkumpul menjadi jam. Jam berkumpul menjadi hari. Minggu berkumpul menjadi bulan. Ternyata sudah enam bulan Zahrana mengajar di STM, tetapi masalah utamanya belum juga selesai.


Ia belum juga mendapatkan jodohnya. Setelah mendapat tawaran dari Pak Didik, sudah ada dua orang yang maju.


Namun entah kenapa ia tidak sreg. Hatinya belum cocok. Yang pertama dibawa oleh teman ayahnya. Seorang satpam di sebuah Bank BUMN. Ia tidak lagi melihat status. Satpam atau apa pun tak jadi masalah. Ia tidak sreg karena satpam itu tidak bisa membaca Alquran sama sekali. Sekali lagi, tidak bisa membaca Alquran sama sekali. Salat juga dengan jujur diakuinya tidak pernah lengkap. Ia hanya membayangkan akan jadi apa anak-anaknya kelak jika ayahnya sama sekali tidak mengenal Alquran. Dalam bahasa dia, buta Alquran.


Dan alangkah beratnya mengajari mengaji suaminya dari nol. Juga mendisiplinkan salatnya dari nol. Akhirnya, tanpa berpikir panjang ia lebih memilih menunggu yang lain.


Orang yang kedua, yang maju melamarnya dibawa oleh temannya sendiri, Wati. Seorang pemilik bengkel sepeda motor. Duda beranak tiga. Status duda dengan berapa anak juga sebenarnya tidak masalah baginya. Ia tidak mungkin cocok dengan duda itu, karena ia telah kawin cerai sebanyak tiga kali dalam waktu tiga tahun.


Tiga anak itu adalah hasil kawin cerainya dengan tiga perempuan berbeda. Ia tidak mau jadi korban yang keempat. Meskipun Wati mengatakan bahwa lelaki itu telah insaf. Ia ingin menikahi Zahrana sebagai istri yang terakhir. Karena ia tidak juga bisa menenangkan batinnya. Akhirnya ia tolak juga pemilik bengkel itu.


Datangnya lamaran silih berganti yang semuanya ditolak oleh Zahrana itu membuat ibunya sempat marah.


"Kamu itu masih tinggi hati, Rana! Perempuan tinggi hati tak akan mendapatkan jodohnya!"


Ia menangis dimarahi ibunya begitu. Ia merasa penolakannya itu ada landasan logika dan syariatnya yang kuat. Ia menangis di pangkuan ibunya, dan minta maaf jika belum bisa menjadi anak yang membahagiakan orang tua. Ibunya, akhirnya luluh dalam tangis. Ayahnya yang melihat hal itu juga menangis.


Sang ayah berkata sambil terisak, "Saat pindah ke STM Al-Fatah kamu bilang siapa tahu jodohmu di pesantren. Coba datanglah ke Pak Kiai. Coba kamu minta pada Pak Kiai untuk membantu mencarikan. Mungkin kamu akan ditemukan dengan santrinya!"


"Baiklah, Ayah, tak kurang ikhtiar saya. Untuk menemukan yang saya idamkan, baiklah saya akan sowan ke tempat Bu Nyai dan Pak Kiai secepatnya,” jawab Zahrana sambil mengusap air matanya.


Esoknya ia nekat mengajak Lina, menghadap Bu Nyai dan Pak Kiai. Ia mengajak Lina sahabatnya itu, karena Lina dulu pernah nyatri di Pesantren ARIS Kaliwungu selama satu bulan saja, yaitu selama bulan Ramadan. Lina tentu lebih tahu berdiplomasi dengan Bu Nyai daripada dirinya yang sama sekali tidak pernah nyantri.


Kedatangannya diterima Bu Nyai dengan wajah menyejukkan. Bu Nyai Sa'adah Al-Hafidhah adalah istri K.H. Amir Arselan, pengasuh utama Pesantren Al-Fatah.


Bu Nyai ini umurnya lima puluhan tahun. Dulu penghafal Alquran di Kudus. Dan di tangannya kini telah lahir ratusan santriwati yang hafal Alquran. Saat itu kebetulan Pak Kiai sedang pergi ke Rembang. Hanya Bu Nyai yang menemui.


“Apa yang bisa Ummi bantu, Anakku? Oh, ya, siapa namamu, Anakku?" tanya Bu Nyai.


"Nama saya Rana, Ummi. Lengkapnya Dewi Zahrana. Kedatangan saya ke sini pertama untuk silaturahmi. Kedua untuk mohon tambahan doa dari Ummi. Kebetulan saya ikut mengajar di STM Al-Fatah. Baru enam bulan ini, Ummi,” terang Zahrana dengan kepala menunduk.


“O, begitu, ya. Jadi kau guru baru di STM Al-Fatah?”


"Iya, Ummi."


"Dulu nyantri di mana?"


Belum sempat Zahrana menjawab, Lina memotong, "Zahrana ini belum pernah nyantri, Ummi. Tetapi dia hariannya seperti santri. Zahrana ini dari SMA. terus kuliah S-1 di UGM dan S-2 di ITB, Ummi."


"Kalau begitu kamu hebat, ya, Zahrana. Bisa S-2 di ITB. Jurusan apa?”


"Teknik Sipil, Ummi."


Bu Nyai hanya manggut-manggut.


Lina tahu bahwa Zahrana tidak berani mengungkapkan maksud sebenarnya. Maka dengan tanpa diminta ia lalu menjelaskan dengan sehalus mungkin maksud utama kedatangan Zahrana ke pesantren.


Bu Nyai menjawab, "Saya yakin tidak mudah mencari yang selevel denganmu, Anakku. Jujur saja kalau misalnya ada yang selesai S-2 umurnya sama denganmu dia akan memilih yang lebih muda darimu. Lelaki itu umumnya punya ego, tidak mau istrinya lebih pintar dan lebih tua darinya. Tetapi, ya, tidak semua lelaki lo. Sekali lagi, tidak mudah mencarikan jodoh yang pendidikannya harus tinggi seperti kamu, juga saleh. Kalau boleh tahu, kalau strata pendidikannya tidak setinggi kamu bagaimana?"


Zahrana mengerti maksud Bu Nyai. Segera ia menjawab, "Saat ini status, strata, kedudukan sosial, pendidikan, dan sebagainya tidak jadi pertimbangan saya, Bu Nyai. Saya hanya ingin suami yang baik agamanya. Baik imannya dan bisa jadi teladan untuk anak-anak kelak. Itu saja."


"Oh, baiklah kalau begitu. Besok kau telepon aku, ya. Nanti malam aku akan rembukan dengan Pak Kiai. Semoga ada pandangan."


"Baik, Bu Nyai."


Keduanya lalu pamitan setelah dipaksa Bu Nyai menghabiskan minuman yang ada di gelas.


"Harus dihabiskan. Kalau tidak habis itu namanya mubazir. Dan orang yang suka mubazir itu teman akrabnya setan,” kata Bu Nyai serius.


Rana dan Lina hanya bisa manut saja. Mereka pulang dengan hati diliputi rasa gembira. Bu Nyai Dah, atau Ummi Dah, begitu para santri memanggilnya, ternyata sangat halus tutur bahasanya, begitu perhatian dan begitu menyenangkan. Wajar jika banyak santri yang mencintainya.


Pak Kiai pasti bahagia punya istri sebaik dia.


•••


Zahrana baru saja masuk kelas, ketika kepala sekolah memanggilnya. Ia bertanya-tanya dalam hati, ada apa sepagi ini kepala sekolah memanggilnya? Ia bergegas ke ruang kepala sekolah dengan kepala berisi tanda tanya.


"Bu Rana, saya baru saja ditelepon oleh Bu Nyai Dah. Beliau minta kau menghadap sekarang juga,” kata kepala sekolah begitu ia sampai di ruang kerja beliau.


Zahrana langsung tahu kenapa Bu Nyai memanggilnya. Ia bergegas ke ndalem Bu Nyai Dah. Bu Nyai Dah ternyata sudah menunggunya sambil membaca Alquran. Begitu Zahrana sampai beliau menghentikan bacaannya.


"Duduklah, Anakku."


Ia duduk dengan kepala menunduk.


"Begini, Anakku. Pak Kiai punya seorang santri yang sudah tiga tahun ini meninggalkan pesantren. Dia santri yang dulu sangat diandalkan Pak Kiai. Namanya Rahmad. Pendidikannya tidak tinggi. Ia hanya tamat Madrasah Aliyah. Tidak kuliah. Karena setelah itu dia mengabdi di pesantren ini. Baik akhlak dan ibadahnya. Tanggung jawabnya bisa diandalkan. Ia dari keluarga pas-pasan. Anak kedua dari tujuh bersaudara. Pekerjaannya sekarang jualan kerupuk keliling. Dia duda tanpa anak. Istrinya meninggal satu tahun yang lalu karena demam berdarah. Itulah informasi yang bisa aku berikan. Musyawarahkanlah dengan kedua orang tuamu dan kerjakanlah salat Istikharah. Jika kamu ingin dan tertarik, beritahukan Ummi. Nanti kita carikan jalan terbaik."


"Baiklah, Ummi. Terima kasih. Saya akan musyawarah dan Istikharah dulu. Saya pamit dulu, Ummi, karena tadi kelas saya tinggalkan,” jawab Zahrana.


"Ya. Semoga berkah, Anakku!"


Zahrana berjalan ke kelas dengan telinga yang mendengungkan apa yang disampaikan Bu Nyai:


“... Ia dari keluarga pas-pasan. Anak kedua dari tujuh bersaudara. Pekerjaannya sekarang jualan kerupuk keliling. Dia duda tanpa anak. Istrinya meninggal satu tahun yang lalu karena demam berdarah ….”


Sambil berjalan ia menirukan ucapan Bu Nyai, "Pekerjaannya sekarang jualan kerupuk keliling. Dia duda tanpa anak. Istrinya meninggal satu tahun lalu!”


"Hmm … penjual kerupuk keliling. Apakah memang takdirku jadi istri seorang penjual kerupuk keliling?" gumamnya sendiri.


Ada dialog yang cukup serius dalam dirinya.


"Tetapi meskipun penjual kerupuk keliling, ia adalah orang yang baik akhlak dan ibadahnya. Tanggung jawabnya bisa diandalkan. Toh, aku sudah bilang pada Bu Nyai bahwa status, strata, kedudukan sosial, pendidikan, dan sebagainya tidak jadi pertimbangan lagi. Yang aku inginkan adalah suami yang baik agamanya. Baik imannya dan bisa jadi teladan untuk anak-anak kelak. Apakah aku harus mempersoalkan pekerjaannya yang cuma penjual kerupuk keliling?"


Sampai di kelas ia tidak konsentrasi mengajar. Akhirnya ia memberi pekerjaan kepada para siswa. Jam ketiga ia izin pulang ke rumah dengan alasan ada kepentingan yang sangat mendesak berkaitan dengan permintaan Bu Nyai. Jika alasannya Bu Nyai, tidak ada yang berani membantah.


Sampai di rumah ia mengajak musyawarah ayah dan ibunya. Keduanya mendorongnya untuk maju.


"Kemuliaan hidup seseorang itu tidak karena pendidikannya atau pekerjaannya. Seseorang jika dimuliakan oleh Allah akan juga mulia di mata manusia." Demikian kata ibunya.


Ia mulai mantap, tetapi merasa masih belum cukup. Ia lalu menelepon Lina. Dari jauh Lina menjawab,


"Dia kan lulusan aliyah. Nanti jika kalian sudah menikah dan hidup mapan, minta saja dia kuliah. Dengan begitu dia akan selesai S-1 dan jarak pendidikan tidak terlalu jauh. Dan sebenarnya dengan dia mengabdi di Pesantren bertahun-tahun dia telah mendapatkan pelajaran hidup yang lebih matang dari mata kuliah di Program Pascasarjana sekalipun. Sudah mantaplah, Ran. Pak Kiai dan Bu Nyai pasti berusaha mengarahkan yang terbaik."


Mantap sudah hatinya. Niatnya sudah bulat. Untuk semakin memantapkan ia pun Istikharah. Setelah Istikharah rasa mantapnya semakin besar. Hari itu juga ia menelepon Bu Nyai dan menjelaskan kemantapannya.


Bu Nyai menjawab, "Baiklah coba jelaskan alamat rumahmu!"


"Saya tinggal di Perumahan Klipang Asri. Jalan Madukara B-15."


"Besok satu hari penuh jangan ke mana-mana. Pak Kiai akan meminta si Rahmad itu berjualan ke perumahan di mana kau tinggal. Kau belilah kerupuk darinya, dan kau boleh bertanya apa saja padanya. Biasa saja. Dia tidak tahu apa-apa masalah ini. Dengan begitu kau bisa tahu dengan jelas calon suamimu itu. Jika kau masih juga mantap, maka bisa diteruskan. Jika tidak, ya, tidak apa-apa."


"Baik, Bu Nyai,” jawabnya.


Dari situ ia tahu betapa demokratisnya Bu Nyai. Betapa bijaksananya Bu Nyai. Betapa Bu Nyai memang tidak mau memaksa. Ia kemudian jadi takut. Jangan-jangan ia yang nanti mau, tetapi si penjual kerupuk itu justru yang tidak mau dengan alasan minder dan sebagainya. Ia mendesah napas panjang. Biarlah waktu yang menjawabnya, desahnya.


•••


Hari berikutnya Zahrana benar-benar tidak ke mana-mana sejak pagi. Hari itu ia izin tidak mengajar demi mengejar takdir. Ia menunggu di ruang tamu. Terkadang juga di beranda. Sesekali ke jalan. Penjual kerupuk itu tidak juga datang.


Pukul sebelas siang seorang penjual kerupuk datang.


"Puk Kerupuk! Puk Kerupuk!" Suara penjual kerupuk itu membahana.


Hati Zahrana sedikit lega. Ia menunggu. Suara itu semakin mendekat. Semakin mendekat. Ia keluar ke beranda. Begitu penjual kerupuk sampai di depannya, ia berteriak,


"Kerupuk, Pak!"


Penjual kerupuk itu menghentikan langkah. Tempat kerupuk yang dipikulnya ia turunkan. Zahrana terperanjat. Sudah tua. Ia memperkirakan umurnya mendekati lima puluh tahun. Kulitnya hitam legam tersengat matahari. Ia hampir menangis.


"Iya, Bu, beli berapa?"


"Tiga ribu, Pak."


"Baik, Bu.”


Penjual kerupuk itu mengambil kerupuk dan memasukkannya ke plastik lalu menyerahkan kepada Zahrana. Zahrana mengeluarkan uang dua puluh ribu.


"Ada yang kecil, Bu?"


"Aduh! Tak ada, Pak."


"Aduh! Gimana, ya, Bu. Saya tak ada kembalian. Udah Ibu bawa dulu saja kerupuknya. Kapan-kapan kalau saya lewat Ibu bayar."


"E … jangan, Pak. Udah Bapak bawa saja. Itu sedekah saya untuk Bapak."


"Baik, Bu, kalau begitu. Matur nuwun, ya, Bu. Semoga keinginan Ibu dikabulkan Allah."


"Amin." Dalam hati Zahrana berdoa ingin suami yang saleh dan pantas bagi dirinya.


Begitu penjual kerupuk itu pergi, Zahrana langsung menghubungi Lina sambil menangis. Ia menceritakan penjual kerupuk yang baru ditemuinya.


"Apakah dalam pandangan Pak Kiai dan Bu Nyai saya memang pantasnya untuk penjual kerupuk yang tua itu?" Nada Zahrana terdengar sedih.


"Tenanglah, Rana. Kau sudah tanya sama pak tua itu siapa namanya?"


"Tidak terpikir, Lin. Sama sekali tidak terpikir bertanya namanya tadi. Aku sudah shock duluan tahu penjual itu sudah tua. Tidak seperti yang aku bayangkan."


"Ya sudah. Kalau begitu kau sabar saja. Yang jelas, tidak mungkin Pak Kiai dan Bu Nyai tega menjerumuskanmu. Ini kan masih siang. Kau tunggu saja. Aku yakin yang dikirim Pak Kiai pasti baik. Pokoknya kamu jangan ke mana-mana, ya. Tunggu sampai malam datang. Mau dapat suami saleh harus sabar, ya." Lina berusaha menenangkan dan menguatkan.


"Terima kasih, Lin. Semoga yang kau katakan benar."


Zahrana kembali menunggu. Hampir satu hari penuh Zahrana menunggu dengan perasaan sedih, jengkel, marah juga berharap. Belum pernah ia sepegal itu. Ia yang dulu pernah mendapatkan predikat mahasiswa teladan UGM kini menunggu datangnya seorang penjual kerupuk keliling. Begitu pentingnya penjual kerupuk itu. Akan tetapi inilah takdir hidupnya. Ia merasa ia harus sabar. Sampai senja tiba, tukang kerupuk selain yang pertama belum datang. Ia menangis. Jika benar, yang dikirim Pak Kiai adalah pak tua tadi, maka ia merasa menjadi perempuan paling menderita di dunia. Sampai Pak Kiai dan Bu Nyai yang dia anggap orang yang sangat arif pun, berpendapat bahwa ia pantasnya dengan lelaki berkepala lima. Sudah sedemikian tidak berharganya dirinya.


IA masuk rumah. Lima belas menit lagi azan Magrib berkumandang. Ia cemas dan galau. Tak ada penjual kerupuk yang datang kecuali pak tua tadi. Ia bingung. IA lemas. Ia keluar lagi. Berharap ada penjual kerupuk lain yang datang. Penjual kerupuk seperti yang ia bayangkan. Ia duduk di kursi beranda. Air matanya bercucuran.


"Ya Ilahi, jika aku punya dosa, ampunilah dosaku. Cukupkanlah ujian-Mu. Aku mohon mudahkanlah jalanku menyempurnakan separuh agamaku sesuai syariat-Mu. Mudahkan diriku menyempurnakan ibadah kepada-Mu."


Ia lalu bangkit masuk rumah lagi. Tak ada siapa-siapa di rumah. Ayah dan ibunya sedang ke rumah sepupunya yang memiliki hajat sunatan di Pucang Gading.


Baru saja masuk, ia mendengar suara nyaring.


"Kerupuk-kerupuk! Kerupuk, Paak! Kerupuk, Buu!"


Ia terperanjat dan bergegas keluar. Suaranya lebih tegas dan lantang. Ia lari. Penjual kerupuk itu telah melewati rumahnya. Ia melongok dari pagar. Penjual kerupuk itu hanya tampak punggungnya. Ia naik sepeda dan mengayuh sepedanya dengan cukup kencang. Zahrana jadi penasaran. Dengan cepat ia nyalakan sepeda motornya yang berdiri di beranda. Lalu melesat mengejar. Tak perlu waktu lama agar penjual kerupuk itu terkejar. Apa susahnya bagi sepeda motor untuk mengejar sepeda. Ketika sudah dekat ia berteriak,


"Kerupuk, Mas!"


Penjual kerupuk itu menepi menghentikan sepedanya. Ia melakukan hal yang sama. Penjual kerupuk itu membuka topi lebarnya dan mengipas-ngipaskannya ke tubuhnya. Semarang memang panas, meskipun hari telah senja. Zahrana terperanjat. Masih muda dan ganteng. Keringat yang mengalir, lengan yang kekar terbakar matahari menambah pesona tersendiri. Sesaat lamanya ia memandangi penjual kerupuk itu.


"Iya, Bu, beli berapa?"


Ia tersadar.


"E … lima ribu."


Penjual kerupuk itu mengambil plastik hitam besar dan memenuhinya dengan kerupuk.


"Ini, Bu.”


Ia mengambil kerupuk dan mengulurkan uang lima puluh ribu. Penjual kerupuk itu menerima uang itu dan menghitung uang kembalinya.


"Ini kembalinya, Bu. Empat puluh lima ribu rupiah."


Zahrana menerima dengan tangan kanannya. Sementara tangan kirinya memegang kantong plastik berisi kerupuk. Penjual bersiap melanjutkan perjalanan.


"E … Sebentar, Mas." Zahrana menghentikan.


"Ya, Bu, ada apa? Apa uang kembalinya kurang?"


"Tidak kok, Mas. Mau tanya, sudah lama jualan kerupuknya, Mas? Kok kayaknya baru ke daerah ini."


"Iya, Bu. Sudah lama. Saya memang baru kali ini ke daerah ini. Biasanya saya beroperasi di daerah Mranggen, Plamongan Indah, Pucang Gading, dan Penggaron saja.”


"Oh. Ini cari langganan baru, ya?"


"Bisa ya, bisa tidak."


"Kok begitu?”


"Biasanya dagangan saya sudah laku di timur, tidak perlu sampai ke kampung ini. Saya jualan ke sini hanya karena sendiko dawuh saja sama Pak Kiai. Pak Kiai saya itu aneh, tiba-tiba saya diminta jualan di daerah ini, di perumahan ini. Dan anehnya Pak Kiai bilang hari ini saja. Besok-besok terserah."


Jantung Zahrana berdegup kencang. Azan Magrib mengalun.


"Boleh tahu, siapa nama Mas?"


"Nama saya Rahmad, Bu. Sudah, ya, Bu, saya jalan dulu. Sudah Magrib, saya harus cari masjid."


Penjual kerupuk itu mengayuh sepedanya ke arah suara azan berkumandang. Zahrana memandang punggungnya sampai hilang di kejauhan.


"Diakah jodoh yang ditakdirkan Allah untukku?" tanyanya dalam hati.


Ia lalu kembali ke rumahnya. Sampai di rumah ayah ibunya sudah ada di rumah.


"Dari mana, Rana? Ini rumah ditinggal pergi tetapi pintu terbuka tak dikunci? Jangan sembrono kamu!" tegur ibunya serius.


"Dari mengejar penjual kerupuk, Bu. Wong cuma sebentar kok,” jawab Zahrana tenang.


"Penjual kerupuk yang dikirim Bu Nyai itu?" tanya ibunya dengan mata berbinar.


"Iya, Bu."


"Bagaimana orangnya? Ganteng? Kau cocok?"


"Ah, Ibu itu lo semangat banget. Yang jelas orangnya baik. Yang lain nanti kita musyawarahkan!"


"Iya. Iya. Baik.”


Zahrana lalu masuk ke kamarnya untuk siap-siap salat Magrib. Sebelum ia mengambil air wudu, ponselnya berdering. Sebuah pesan masuk. Ia buka,


"Assalamualaikum wr.wb. Bu, ini Hasan. Alhamdulillah, tadi saya sudah wisuda. Dan alhamdulillah saya dinobatkan sebagai mahasiswa terbaik. Ini juga berkat doa dan bimbingan Ibu. Terima kasih sudah meminjami referensi dan lain-lain. Mohon doanya. Wassalam."


Ia tersenyum. Ia bahagia membaca pesan itu. Bagaimana tidak bahagia jika ada seorang murid yang berhasil tidak lupa pada gurunya. Ia teringat saat dulu diwisuda di UGM dan menjadi lulusan terbaik di Fakultasnya. Saat itu ia sangat bahagia. Dan itu pula yang saat ini sedang dirasakan mahasiswanya, Hasan.


Ia teringat Nina. Bagaimana dengan Nina? Nina tak kalah hebatnya dengan Hasan. Tiba-tiba ia tersenyum simpul. Hasan dan Nina itu cocok. Kalau mereka menikah itu pas. Hasan ganteng, Nina cantik. Sama-sama aktivis. Sama-sama cerdas dan bisa diandalkan.


•••


Setelah Zahrana melakukan cross-check pada Bu Nyai, memang penjual kerupuk yang masih muda itulah yang dimaksud Pak Kiai. Umurnya 29 tahun. Jadi lebih muda empat tahun dari Zahrana. Setelah memikir dan menimbang tiga hari lamanya Zahrana merasa cocok.


Ayah dan ibu Zahrana pun cocok. Barulah setelah itu Pak Kiai dan Bu Nyai mempertemukan dua keluarga. Mulanya si Rahmad merasa minder, tetapi Pak Kiai berhasil meyakinkan Rahmad untuk tidak minder. Pada Rahmad Pak Kiai berkata,


"Zahrana ini, meskipun berpendidikan tinggi tetapi ia rendah hati. Yang jadi pertimbangan Zahrana dalam mencari suami bukan materi, status, strata, kedudukan sosial, pendidikan, dan sebagainya. Yang jadi pertimbangan Zahrana adalah agama, iman, dan akhlak. Insya Allah, ia gadis saleha yang mampu menghormati suaminya. Jadi kamu jangan minder!"


Akhirnya Rahmad juga menyatakan cocok. Jadilah dua keluarga itu cocok. Saat musyawarah dua keluarga itu, Zahrana mengutarakan keinginannya untuk mempercepat pernikahannya. Usul Zahrana diterima dengan penuh semangat oleh dua keluarga.


"Semakin cepat semakin baik. Insya Allah semakin cepat juga semakin berkah!" Demikian Pak Kiai berkomentar.


Dan ditetapkanlah hari-H pernikahan Rahmad dengan Zahrana dua minggu setelah pertemuan itu. Dua keluarga itu langsung didera kesibukan menyiapkan pesta pernikahan itu. Karena Zahrana anak tunggal, Pak Munajat ingin semua teman lama dan saudara diundang.


Dengan kerja keras, dalam waktu relatif singkat undangan pernikahan tersebar. Zahrana mengundang semua temannya. Yang tidak bisa dikirimi undangan diberi tahu lewat email dan pesan singkat. Ia juga mengundang mahasiswanya yang ia kenal. Mereka ia undang lewat pesan singkat. Para mahasiswanya mengirim balasan dengan nada sangat gembira dan memastikan mereka datang.


Namun dua orang mahasiswa yang ia harapkan datang, yaitu Nina dan Hasan malah tidak bisa datang.


Nina mengirim balasan:


"Terima kasih, Bu, atas undangannya. Semoga pernikahannya berkah. Maaf, saya tidak bisa datang sebab pada hari yang sama saya juga akan melangsungkan akad nikah di Jakarta. Saling mendoakan, ya, Bu. Nina."


Ia bahagia, Nina langsung menikah begitu selesai S-1. Akan tetapi sedikit kecewa karena Nina tidak menikah dengan Hasan. Seperti yang ia idealkan. Ia langsung sadar, ideal di mata manusia itu berbeda dengan ideal di mata Allah Swt.


Sementara Hasan mengirim balasan:


"Semoga pernikahan Ibu penuh berkah. Maaf, saya tidak bisa datang, Bu. Sebab hari itu saya harus mengurus beasiswa S-2 USM (Universiti Sains Malaysia). Mohon doanya."


Kabar yang membuatnya bahagia. Mahasiswa penuh dedikasi seperti Hasan memang pantas mendapatkan beasiswa. Dalam hati ia berdoa semoga semua mahasiswanya berhasil dan sukses.


Tak ketinggalan ia juga mengundang teman-temannya sesama dosen waktu mengajar di kampus Fakultas Teknik. Semua ia undang termasuk Bu Merlin. Hanya Pak Karman yang tidak. Ia tak ingin hari bahagianya rusak dengan melihat bandot tua yang tidak ia suka itu.


Namun mau tidak mau Pak Karman tahu juga kabar itu. Dan ia juga tahu bahwa hanya ia seorang di kampus yang tidak diundang. Hal itu membuatnya marah dan geram.


"Jangan sebut aku ini Karman jika tidak bisa memberi pelajaran pahit pada perempuan tengik itu!" geramnya sambil memukul meja di ruang kerjanya.


•••
















EMPAT





Hari pernikahan Zahrana semakin dekat. Zahrana telah memilih gaun pengantinnya. Gaun pengantin muslimah hijau muda yang sangat anggun. Ia memang suka warna hijau muda. Gaun pengantin itu ia beli dari butik muslimah terkemuka di Solo.


Sore itu, ia mencoba gaun itu di kamarnya. Sambil memandang wajahnya ke cermin ia berkata,


"Akhirnya aku akan jadi pengantin juga. Aku akan punya suami. Aku akan hidup membina rumah tangga layaknya yang lain."


Hatinya berbunga-bunga. Ia bahagia. Jika boleh meminta, ia masih ingin meminta akad nikah dan walimatul ursy-nya dipercepat lagi saja. Ia ingin segera mengatakan pada dunia bahwa ia juga berhak hidup wajar seperti yang lainnya. Hidup berkeluarga. Memiliki suami yang baik dan setia. Dan kelak memiliki anak-anak yang menjadi penyejuk jiwa.


Tiba-tiba ponselnya berdering. Satu pesan masuk.


"Apa kabar, perawan tua? Jika kau telah beli gaun pengantin, sebaiknya kau kembalikan saja. Kau tak akan memakainya di hari pernikahan yang telah kau tentukan. Kau masih akan lama menyandang statusmu sebagai perawan tua. Bukankah jadi perawan tua itu indah? Tiap saat dilamar banyak orang dan bisa dengan semena-mena menolaknya. Kenapa kau tidak menikmatinya saja? Kenapa tergesa-gesa? Demi kebaikanmu sendiri, sebaiknya kau kembalikan saja gaun pengantinmu itu. Jadilah perawan tua selamanya."


Ia kaget. Pesan berisi kata-kata teror itu muncul lagi. Entah kenapa, kali ini ia tidak setenang dulu menghadapi pesan teror itu. Kali ini ia sangat marah. Rasanya ia ingin membunuh orang yang mengirim pesan kurang ajar itu. Dengan sangat geram ia membalas,


"Semoga laknat Allah mengenaimu, hai iblis tua! Semoga kau menemui ajalmu dalam keadaan hina di mata manusia!"


•••


Persiapan perhelatan akad nikah dan walimatul ursy di rumah Zahrana hampir sempurna. Besok acara pernikahan itu akan berlangsung. Rumah itu kini ramai dengan orang. Anak-anak kecil berlarian main kejar-kejaran.


Pengeras suara telah dipasang. Lagu-lagu khas pesta pernikahan dinyalakan. Sore itu syair lagu dari grup kasidah Nasyida Ria berkumandang,


Duhai senangnya pengantin baru.

Duduk bersanding bersenda gurau.


Zahrana tersenyum. Besok ia akan mengalaminya. Duduk bersanding dengan suaminya. Zahrana ingin membantu kaum ibu di dapur menyiapkan segala sesuatu, tetapi mereka meminta Zahrana istirahat saja.


Maka setelah salat Isya ia langsung tidur, agar besok ia benar-benar segar.


Lagu-lagu bahagia masih mengalun. Di luar kamarnya, kesibukan terus berjalan sebagaimana mestinya. Anak-anak kecil tertawa-tawa bahagia.


Mereka berlarian sambil memegang kue di tangannya. Zahrana tidur dalam kebahagiaan tiada terkira. Lagu yang terakhir ia dengar adalah alunan suara Nasyida Ria,


Duhai senangnya pengantin baru.

Duduk bersanding bersenda gurau.


Ia benar-benar tidur pulas dan nyenyak. Pukul setengah tiga malam ia dibangunkan. Tidur bahagianya hilang. Ia kaget ada keributan. Ibunya menangis menjerit-jerit seperti orang kesurupan. Bapaknya tafakur di kursi seperti patung. Linalah yang membangunkannya.


"Ada apa ini, Lin?" tanyanya heran. Ada kecemasan luar biasa yang tiba-tiba masuk ke hatinya.


Lina yang ia tanya malah menangis.


"Rahmad, Rana! Rahmad calon suamimu, Rana!"


"Ada apa dengan Rahmad?"


Lina tidak menjawab, malah semakin keras terisa-kisak. Paman Rahmad yang ternyata ada di situ menjawab,


"Rahmad telah tiada, Anakku! Rahmad meninggal dunia!"


"Apa?" Ia kaget bagai tersengat listrik beribu-ribu volt.


"Rahmad mati tertabrak kereta api!" lanjut Paman Rahmad.


"Oh, tidak! Tidak! Tidaaak!" Zahrana menjerit histeris. Jeritannya menyayat hati siapa saja yang mendengarnya. Setelah itu ia pingsan seketika. Semua yang ada di rumah itu terpukul. Para tetangga Zahrana yang mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi ikut sedih dan meneteskan air mata.


Para tetangga itu lalu bertanya satu sama lain,


"Kenapa ini bisa terjadi? Bagaimana Rahmad bisa tertabrak kereta api? Di malam menjelang akad nikah, bukankah sebaiknya ia di rumah saja istirahat? Kenapa bisa sampai tertabrak kereta api? Apa yang ia lakukan sebenarnya?"


Paman Rahmad menjelaskan,


"Habis salat Magrib tadi ada yang menelepon ponselnya. Katanya teman lama ingin bertemu di Pasar Mranggen. Rahmad minta temannya itu datang ke rumah saja, tetapi temannya itu mengatakan tidak bisa. Temannya itu memaksa Rahmad pergi menemuinya. Karena berkaitan dengan bisnis yang sangat penting. Dan Rahmad akan diajak sedikit mengetahui prospeknya. Akhirnya Rahmad pergi. Sekalian beli peci baru. Sebenarnya keluarga melarang, tetapi Rahmad memaksa pergi. Ia memaksa pergi sendirian. Saudara sepupunya mau ikut bersamanya, tetapi dilarangnya dengan alasan tenaga saudara sepupunya itu sangat dibutuhkan di rumah.


“Sampai pukul sepuluh malam Rahmad belum juga pulang. Sebagian orang cemas, sebagian yang lain marah, Rahmad tidak segera pulang malah begadang dengan temannya yang tak dijelaskan siapa.


Tepat tengah malam tadi dua orang polisi datang. Mereka memberi tahu ada mayat tertabrak kereta api, dan dari KTP di dompetnya diketahui bernama Rahmad. Sebagian orang memastikan ke tempat kecelakaan. Dan benar, mayat yang berlumuran darah itu memang Rahmad."


Mendengar cerita itu semua diam. Semua membisu. Semua larut dalam kesedihan yang dalam. Zahrana masih pingsan.


•••


Pagi harinya bukan pesta pernikahan yang digelar, tetapi upacara belasungkawa kematian. Tak ada lagu bahagia. Tak ada senyum dan canda. Tak ada gelak tawa. Yang ada adalah mata yang berkaca-kaca dan rinai tangis dalam jiwa.


Zahrana belum bisa menerima apa yang terjadi. Ia masih pingsan berkali-kali. Lina berinisiatif membawa Zahrana ke rumah sakit. Zahrana harus dijauhkan dari suasana yang masih diselimuti sedih itu. Zahrana harus dijauhkan dari rumahnya, di mana ia siap melangsungkan akad nikah, tetapi tiba-tiba menciptakan trauma baginya.


Lina membawa Zahrana yang masih pingsan ke Rumah Sakit Roemani. Lina memilihkan kamar VIP agar Zahrana bisa beristirahat dengan nyaman. Menjelang zuhur Zahrana siuman. Lina ada di sampingnya menenangkan. Setelah minum air putih tiga teguk Zahrana menangis.


"Lebih baik aku mati saja, Lin. Aku nyaris tidak kuat!" katanya dalam pelukan Lina dengan terisak-isak.


"Sebut nama Allah, ya, Rana! Sebut nama Allah! Ingatlah Allah! Bersabarlah! Mintalah kepada Allah agar musibah ini diberi ganti yang lebih baik." Lina mencoba menguatkan.


"Akan tetapi aku bisa gila, Lin. Aku bisa gila! Aku shock! Daripada aku gila lebih baik aku mati saja!"


"Tidak, kau tidak akan gila. Kau akan baik-baik saja. Percayalah, ini ujian dari Allah untuk memilihmu menjadi kekasih-Nya."


"Tak tahu aku harus bagaimana, Lin."


"Sudahlah. Kau istirahat dulu. Tubuhmu sangat lemah. Banyaklah berzikir. Dengan banyak berzikir hati akan tenang!"


Dengan setia Lina menemani Zahrana. Segala usaha ia kerahkan untuk menghibur teman karibnya itu.


"Anakmu bagaimana, Lin, kalau kau di sini?" tanya Zahrana.


"Tenang, sudah ada yang mengurus. Anakku sedang bersama kakek dan neneknya di Ungaran."


Tiba-tiba air mata Zahrana kembali keluar.


"Bahagianya punya anak. Kau beruntung, Lin. Punya suami baik. Anak lucu-lucu. Keluarga besar yang penuh kasih sayang. Sementara aku. Jangankan anak, suami saja tidak punya. Baru mau punya sudah pergi …,” kata Zahrana sambil menangis memandang langit-langit kamar rumah sakit.


"Sudahlah, Rana. Sudahlah. Hanya belum tiba saatnya saja. Nanti kalau tiba saatnya kau insya Allah akan memiliki yang lebih baik dari yang aku miliki."


"Entahlah, Lin, harapanku sudah pupus. Aku merasa tidak bergairah hidup lagi."


"Tidak, Rana. Kau tidak boleh pupus harapan. Ingatlah, Allah Mahaluas kasih sayang-Nya. Percayalah ini cuma ujian kecil. Masih banyak hamba Allah di muka bumi ini yang diuji dengan ujian yang jauh lebih besar dari yang kau alami. Ayolah, Rana, kau harus tabah! Kau harus tegar! Kau harus kuat! Kau harus terus maju! Kau tak boleh menyerah. Putus asa berarti kau menyerahkan dirimu dalam perangkap setan!"


"Ya, doakan aku, ya, Lin. Semoga aku kuat. Akan tetapi bagiku ini sangat berat!"


"Aku tahu ini berat, tetapi aku yakin kau mampu menghadapinya, Rana. Aku yakin."


"Aku beruntung punya teman sepertimu, Lina. Terima kasih, ya, Lin. Kau baik sekali!" lirih Zahrana dengan mata berlinang-linang.


"Aku juga sangat beruntung punya teman sepertimu, Rana. Aku banyak belajar kesabaran dan ketegaran justru darimu. Aku selalu berdoa agar kau bahagia."


Pintu diketuk. Seorang dokter berjilbab masuk. Dengan ramah dokter setengah baya itu memeriksa kondisi Zahrana. Semua keluhan Zahrana ia dengarkan dengan penuh perhatian. Sesekali dokter itu menghiburnya dengan perkataan yang lembut dan menyejukkan.


Senyumnya mengalirkan kesembuhan.


"Jadi, Ibu ini Ibu Zahrana yang pengajar di Fakultas Teknik Universitas Mangunkarsa itu?"


Zahrana mengangguk.


"Berarti Ibu kenal dengan anak saya, ya?"


"Siapa nama anak Bu Dokter?"


"Namanya Hasan. Hasan Baktinusa."


"O, kenal. Bahkan sangat kenal. Selamat, ya, Bu, atas diwisudanya Hasan sebagai wisudawan terbaik. Salam buat Hasan. Semoga urusan beasiswanya lancar."


"Ya, nanti saya sampaikan. Hasan sering sekali cerita tentang Bu Zahrana. Terima kasih telah banyak membantu anak saya."


"Sama-sama, Bu."


Pertemuan dengan dokter berjilbab yang ternyata ibundanya Hasan itu membuatnya seolah bisa bernapas. Dokter berjilbab itu juga bisa menyegarkannya dengan sedikit cerita masa mudanya yang sebenarnya mirip dengan Zahrana. Bu dokter bernama Zulaikha, biasa dipanggil Bu Dokter Zul itu ternyata juga menikah dalam usia yang sangat terlambat.


"Yang sudah terjadi biarlah berlalu. Diratapi seperti apa pun tak akan kembali. Jodoh itu terkadang dikejar-kejar tidak tertangkap. Akan tetapi terkadang tanpa dikejar datang sendiri. Yang paling penting adalah dekat dengan Allah dalam keadaan susah dan bahagia. Senang dan sedih."


Zahrana seperti mendapatkan suntikan darah segar. Daya hidupnya tumbuh kembali. Dalam hati dia berkata,


"Ya, benar. Yang sudah terjadi biarlah berlalu. Diratapi seperti apa pun tak akan kembali."


Sebelum pergi Bu Dokter itu berkata, "Ada nasihat sangat bagus sekali dari Anton Chekov."


"Apa itu, Bu?" tanya Zahrana pelan.


"Anton Chekov pernah menulis, 'Suatu saat kamu perlu untuk tidak memikirkan kesuksesan dan kegagalan. Jangan biarkan hal itu mengganggu dirimu!'”


"Nasihat yang baik sekali, Bu."


"Ya. Tidak ada salahnya untuk memperkaya jiwa kau baca juga karya-karya sastra."


"Terima kasih, Bu, atas semuanya."


•••


Derita Zahrana ternyata tidak cukup sampai di situ. Tanpa sepengetahuannya, di rumahnya terjadi musibah kedua. Pak Munajat, ayahnya, yang memang telah renta tidak kuat menahan tekanan batin. Ia terkena serangan jantung. Dengan cepat ia dilarikan ke rumah sakit. Akan tetapi tak tertolong. Nyawanya melayang di perjalanan.


Hari itu ia meninggal menyusul calon menantunya. Berita kematian Pak Munajat tidak disampaikan kepada Zahrana. Zahrana baru tahu setelah ia pulang dari rumah sakit dengan jiwa yang telah kukuh.


Mengetahui ayahnya telah tiada ia menangis, tetapi tidak sampai pingsan. Lengkap sudah penderitaan Zahrana.


Berita pernikahan yang tidak jadi karena pengantin lelakinya tertabrak kereta api itu dimuat koran terkemuka Jawa Tengah, Suara Mahardika. Kematian Rahmad yang mengenaskan masih diselidiki polisi. Polisi menyelidiki saksi-saksi. Polisi mencurigai orang yang menelepon Rahmad. Orang itu belum juga ditemukan dan masih dalam pencarian.


Beberapa hari setelah itu teman-temannya berdatangan mengucapkan bela sungkawa. Juga teman-teman dosen Fakultas Teknik. Hampir semuanya datang.


Termasuk Bu Merlin dan Pak Karman. Zahrana sangat kaget ketika Pak Karman datang. Di hadapan Zahrana, Pak Karman berkata pelan sekali,


"Saya ikut berduka. Semoga almarhum berdua diterima di sisi-Nya. Saya berharap semoga gaun pengantinmu benar-benar telah kau kembalikan ke Solo!"


Zahrana tersentak. Kata-kata Pak Karman bagai aliran listrik yang menyengatnya. Kata-kata itu menguatkan keyakinannya bahwa yang menerornya selama ini adalah Pak Karman. Dan bagaimana bisa Pak Karman tahu ia membeli gaun pengantin itu dari Solo.


Tiba-tiba firasatnya mengatakan kematian calon suaminya ada hubunganya dengan pesan terakhir Pak Karman. Dan pada hakikatnya, kata-kata Pak Karman yang baru saja ia dengar adalah satu bentuk teror dahsyat yang hendak melumpuhkannya saat itu. Tiba-tiba kekuatannya bangkit. Ia merasa tidak boleh terpancing. Ia harus bisa mengendalikan diri. Ia harus menang. Ia harus tenang.


"Terima kasih berkenan datang, Pak,” jawabnya dengan pura-pura tidak memerhatikan perkataan Pak Karman.


•••
















LIMA





Entah kenapa firasat Zahrana terus mengatakan bahwa Pak Karman ada di balik kematian calon suaminya. Ia ingin lapor polisi, jangan-jangan orang misterius yang menelepon calon suaminya sebelum kecelakaan itu adalah Pak Karman, atau suruhannya.


Namun ia tidak punya bukti. Ia bingung harus berbuat apa. Ia diskusikan kebingungannya itu pada Lina. Hanya Lina yang kini bisa diajaknya bicara.


"Aku yakin sekali, Lin. Iblis tua itu ada di balik kematian Mas Rahmad. Aku yakin!" kata Zahrana berapi-api. Lantas ia menunjukkan data-data yang menguatkan dugaannya itu.


Lina menanggapinya dengan kepala dingin, "Sudahlah, Rana. Jangan menambah rumit masalah. Jangan merepotkan diri sendiri. Jangan menuduh tanpa bukti! Salah-salah kau sendiri yang tertuduh nanti!"


"Data-data tadi. Pesan saat aku mencoba gaun pengantin. Perkataannya saat mengucapkan bela sungkawa. Dan dendamnya kepadaku sehingga ingin memecatku, tidak bisa dianggap sebagai bukti?" seru Zahrana.


"Aku bukan pakar hukum, Rana, tetapi sebaiknya kau fokus pada yang lain saja. Diikhlaskan saja. Orang yang ikhlas itu pasti menang. Karena orang yang ikhlas itu selalu disertai Allah,” sahut Lina pelan. Ia lalu mengambil koran dari tasnya.


"Apalagi polisi sudah mengumumkan bahwa kematian Rahmad murni karena kecelakaan. Coba kau baca ini, baca!" lanjut Lina sambil menyodorkan koran Suara Mahardika.


Zahrana mengambil koran dari tangan Lina. Dan membaca berita yang dimaksud Lina. Ia menghela napas panjang. Ada rasa kecewa dalam tarikan napasnya. Lina menangkapnya. Lina berusaha menghibur,


"Sudahlah, Rana, sabarkan dirimu. Kuatkan imanmu. Ini ujian bagimu dari Allah, apakah kau jadi hamba-Nya yang pilihan apa tidak. Kata Rasulullah, semua perkara bagi orang Mukmin itu baik. Jika dapat nikmat bersyukur, dan jika dapat musibah bersabar. Semoga musibah ini jadi pahala,” lanjut Lina.


"Sebaiknya kau tenangkan diri. Nanti ikhtiar lagi."


Zahrana mengangguk. Dalam hati Zahrana bertekad untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah. Ia teringat perkataan Bu Nyai saat memberikan ucapan bela sungkawa,


"Kita semua milik Allah dan akan kembali kepada Allah. Kita semua tunduk pada takdir-Nya. Yang paling berkuasa di atas segalanya adalah Allah Swt."


Sejak itu, Zahrana hampir tidak pernah meninggalkan salat malam. Ia labuhkan segala keluh-kesah dan deritanya kepada Yang Maha Menciptakan.


Ia pasrahkan dirinya secara total kepada Allah. Dalam keheningan malam ia berdoa,


"Ya, Rabbi, ikhtiar sudah hamba lakukan, sekarang kepada-Mu hamba kembalikan semua urusan. Ya, Rabbi, aku berlindung kepada-Mu dari semua jenis kejahatan yang terjadi di atas muka bumi ini. Ya, Rabbi, aku memohon kepada-Mu segala kebaikan yang Engkau ketahui. Dan aku berlindung kepada-Mu dari segala hal buruk yang Engkau ketahui."


•••


Bulan Ramadan datang. Zahrana semakin menikmati ibadahnya. Selesai Tahajud, Zahrana menyiapkan sahur. Ibunya masih tidur. Begitu semua siap, Zahrana membangunkan ibunya dengan penuh kelembutan.


Sang ibu lalu cuci muka, kemudian makan sahur. Rumah itu terasa begitu sunyi. Hanya Zahrana dan ibunya yang duduk di meja makan itu.


"Ramadan tahun lalu, kita masih makan sahur bersama ayahmu, ya, Nak."


"Iya, Bu. Sudahlah, Bu, jangan diingat itu lagi."


"Apakah aku masih berkesempatan melihat kau duduk di pelaminan, ya, Nak?”


"Sudahlah, Bu. Kita serahkan semuanya kepada Allah. Jika Allah menghendaki apa pun bisa terjadi."


Selesai sahur Zahrana membaca Alquran sementara ibunya salat. Begitu azan Subuh berkumandang mereka berdua pergi ke masjid. Selain untuk salat Subuh berjamaah mereka juga ingin mendengarkan kuliah subuh yang diadakan selama bulan suci Ramadan.


Habis dari masjid Zahrana mengajak ibunya berjalan-jalan menghirup udara pagi keliling kompleks perumahan. Mereka berdua masuk rumah ketika matahari sudah terang bersinar di ufuk. Zahrana langsung mandi dan bersiap-siap mengajar.


Pukul tujuh kurang sepuluh menit ia sudah sampai di kantor STM Al-Fatah. Waktu sepuluh menit sebelum bel berbunyi ia gunakan untuk membaca koran. Ia penasaran pada sebuah judul berita:


KARENA BERBUAT CABUL, SEORANG DEKAN MATI DIBUNUH DI RUANG KERJANYA.


"Semarang - Sepandai-pandai orang menyimpan bangkai, akhirnya kecium juga. Peribahasa ini agaknya layak untuk S (55 tahun), Dekan Fakultas Teknik Universitas Mangunkarsa Semarang. Perilaku cabulnya kepada mahasiswi yang selama ini disembunyikannya akhirnya terkuak. Ia tewas mengenaskan di ruang kerjanya ditikam oleh H (26 tahun) mahasiswa Fakultas Teknik yang marah karena istrinya bernama M (24 tahun) diperlakukan tidak senonoh oleh dekan jebolan universitas terkemuka dari Amerika Serikat itu. Dua mahasiswa suami istri itu, H dan M kini ditahan pihak berwajib untuk penyelidikan lebih lanjut."


Zahrana berkata pelan dalam hati, "Becik ketitik ojo kethoro!" Ia lalu bertakbir dalam hati. Ia merasa doanya dikabulkan oleh Allah. Yang jahat itu akhirnya mendapatkan balasannya sendiri.


Setelah itu ia masuk kelas dengan penuh semangat. Anak-anak didiknya ia ajak ke perpustakaan. Ia menugaskan kepada mereka untuk membaca buku yang berkenaan dengan puasa. Puasa dan hubungannya dengan kesabaran. Seorang siswa yang kritis protes,


"Kok tugasnya membaca buku tentang puasa, Bu? Memang pelajaran kita ini pelajaran agama. Pelajaran kita kan tentang menggambar teknik listrik, Bu?"


Dengan tersenyum Zahrana menjawab,


"Justru itulah karena dalam menggambar teknik listrik memerlukan kesabaran yang tinggi. Maka Ibu ingin kalian memiliki roh kesabaran itu. Mumpung kita masuk bulan puasa. Ayo, kita kaji hubungan puasa dengan kesabaran. Dan hubungan puasa dengan penghematan. Dan juga hubungan puasa dengan prestasi umat Islam. Kita ke perpustakaan selama dua jam pelajaran. Kalian membaca yang serius. Hasil bacaan kalian, kalian presentasikan satu per satu minggu depan."


Anak-anak siswa kelas satu itu sangat gembira. Sebab diajak oleh guru masuk ke perpustakaan yang jarang mereka dapatkan. Bagi mereka, cara Bu Zahrana mengajar itu berbeda dengan guru-guru yang lain. Selalu ada hal yang baru. Mata pelajaran menggambar teknik listrik di tangan Bu Zahrana jadi pelajaran yang sangat mengasyikkan. Bisa masuk ke banyak hal tanpa kehilangan fokus utama pelajaran.


Sore itu setelah salat Asar Zahrana pergi ke warung untuk membeli kelapa, gula merah, dan tepung terigu. Ia ingin membuat kolak untuk buka puasa. Juga membuat mendoan dan bakwan. Ibunya ternyata sudah menyiapkan es degan. Sudah dimasukkan di lemari es sejak siang.


Pulang dari warung ia agak terkejut, sebab ada mobil sedan tepat di depan rumahnya. Ia menduga-duga siapa yang datang. Setelah masuk ia tahu kalau yang datang ternyata Bu Dokter Zulaikha, ibundanya Hasan.


"Dari mana, Bu Zahrana?" tanya Bu Zul.


"Dari warung, Bu Zul, ini beli bahan-bahan untuk bikin kolak. Sendirian, ya, Bu?"


“Iya.”


"Hasan apa kabarnya? Urusan beasiswanya ke Malaysia beres semua?"


"Alhamdulillah, Hasan baik-baik saja. Dia titip salam. Dia tadi masih sibuk nulis-nulis entah nulis apa."


"Senang Ibu berkenan dolan ke sini. Ini mampir atau memang menyengaja ke sini?" tanya Zahrana santai.


"Menyengaja ke sini em ...."


Ibunda Zahrana yang sedari tadi diam menyela,


"Nak, Bu Zul ini datang karena ada keperluan penting denganmu. Katanya ada hal serius yang ingin beliau konsultasikan denganmu. Sini biar Ibu yang bikin kolak, kau bisa bincang-bincang dengan beliau."


Bu Zul langsung menimpal, "Maaf jika kedatangan saya mengganggu."


"O, enggak apa-apa, Bu," sahut ibunda Zahrana cepat, "saya tinggal ke belakang dulu, ya, Bu. Silakan bicara dengan Zahrana," lanjutnya lalu pergi ke arah dapur.


Zahrana diam, Bu Zul pun diam. Suasana hening sesaat.


"Eh … konsultasi apa, ya, Bu?" Zahrana memecah keheningan.


"Eh, ini. Tentang Hasan, anak saya."


"Ada apa dengan Hasan, Bu?"


"Sebelumnya maaf, ya, Bu, saya tidak bermaksud menyinggung siapa-siapa lo. Karena saya tahu, Ibu termasuk yang didengar omongannya oleh Hasan, maka saya konsultasi sama Bu Zahrana. Begini, dua hari yang lalu Hasan minta nikah, Bu. Menurut Ibu bagaimana? Padahal dia kan mau kuliah di Malaysia, Bu."


Zahrana mengerutkan dahi.


"Kalau menurut saya pribadi, tidak ada salahnya Hasan menikah baru ke Malaysia. Kalau bisa istrinya dibawa, kalau tidak bisa, ya, tidak apa-apa istrinya ditinggal di Indonesia. Toh, Malaysia-Indonesia itu dekat. Sekarang tiket pesawat juga murah."


"Apa menurut Ibu, Hasan sudah layak menikah? Sudah layak punya istri? Dan bisa bertanggung jawab menghidupi anak jika punya anak?"


"Pendapat saya ini sangat subjektif dari saya, Bu. Menurut saya, Hasan sudah sangat layak menikah. Selama saya tahu dia di kampus, dia bisa diandalkan tanggung jawab dan kepemimpinannya. Kenapa Ibu masih ragu dengan anak sendiri?"


"Saya tidak ragu, Bu, tetapi saya mencari kemantapan. Biar mantap jika saya melepas Hasan ke dunia baru yang penuh perjuangan dan aral melintang.”


"Mantap saja, Bu. Menikah dini bagi orang seperti Hasan itu baik. Saya saja menyesal tidak menikah dini dulu."


"Itulah kenapa saya kemari. Selain tentang diri Hasan, saya ingin berdiskusi pada Ibu tentang calon yang diajukan Hasan."


"Semoga saja saya kenal dengan calon Hasan itu. Dia kuliah sama dengan Hasan di Fakultas Teknik?"


"Tidak, Bu. Saya langsung saja, ya, Bu. Maaf sebelumnya, Hasan meminta kepada saya untuk melamar Bu Zahrana. Calon yang diajukan Hasan, anak saya itu Ibu."


Zahrana kaget bagai disambar halilintar.


"Sa … saya, Bu?”


"Iya, Ibu. Anak saya ingin menikahi Ibu!"


"Maaf, Bu. Mungkin Hasan cuma bercanda. Saya tidak pernah berlaku yang tidak-tidak sama Hasan, Bu, sungguh,” jawab Zahrana dengan nada takut dan khawatir.


Ia khawatir jika Bu Zul itu datang untuk membuat perhitungan dengannya. Takut kalau ia dianggap berhubungan dengan Hasan.


"Enggak, Bu, Hasan tidak bercanda. Anakku sangat serius dalam hal ini."


"Kalau begitu Hasan salah pilih, Bu."


Bu Zul malah tersenyum.


"Bu Zahrana kok kelihatannya takut. Ada apa tho, Bu?”


"Ibu harus percaya pada saya, Bu. Saya tidak punya hubungan apa pun dengan Hasan kecuali dosen dengan muridnya, Bu. Sungguh, Bu!"


Bu Dokter Zul itu geleng-geleng kepala dan tersenyum. Dia langsung paham maksud Zahrana.


"Bu Zahrana, saya tidak pernah menuduh begitu. Saya percaya pada Ibu. Juga percaya pada anak saya. Saya datang kemari untuk menunaikan janji saya pada anak saya itu. Saya berjanji akan membantunya menyunting gadis mana pun yang ingin dinikahinya selama akhlak dan agamanya bagus. Dan ketika Hasan ingin menyunting Bu Zahrana, saya langsung setuju. Sebab saya sudah tahu semuanya tentang Ibu dari teman Ibu, yaitu Bu Lina. Saya berharap, dan sangat berharap Bu Zahrana tidak menolak pinangan ini. Ini pinangan serius tetapi belum resmi. Jika Bu Zahrana serius, nanti saya akan meminang secara resmi dengan membawa Hasan dan ayahnya juga beberapa anggota keluarga."


Zahrana tidak tahu harus menjawab apa. Apa yang disampaikan Bu Zul itu sangat jelas ia dengar dan sangat jelas maksudnya. Tak ada yang tersembunyi lagi.


"Ibu sudah tahu saya, tetapi Hasan belum tahu saya, Bu."


"Dia lebih tahu dari saya tentang diri Bu Zahrana. Apa yang masih membuat Bu Zahrana ragu?"


"Saya masih belum bisa percaya, Bu. Ini hal gila. Mahasiswa melamar dosennya. Apa kata dunia?"


"Harus bagaimana saya agar Ibu percaya. Sumpah demi Allah? Baiklah saya bersumpah demi Allah semua yang saya sampaikan benar. Apa lagi? Hal gila? Tidak, Bu, tidak gila. Melangkah untuk mengikuti sunah Rasul itu bukan ide gila. Itu ide baik. Dan mahasiswa meminang dosen, apakah ada dalil yang mengharamkannya?"


"Saya tidak tahu harus bicara apa lagi."


"Berarti menerima. Tidak bicara berarti diam. Diam tanda menerima."


"Saya ini lebih tua dari Hasan, Bu. Dia cocoknya jadi adik saya."


"Syariat tidak menentukan batasan umur. Ibu memang lebih tua, tetapi tidak terpaut jauh. Cuma empat tahun. Hasan umurnya 29. Mukanya memang baby face. Bagi saya sendiri tidak masalah. Toh, suami saya juga lebih muda dua tahun dari saya."


"Saya belum bisa menerima, Bu!"


"Kenapa? Kata Ibu, tadi Hasan sudah pantas menikah dan memiliki istri. Apa lagi? Apa ada dalam diri Hasan suatu cacat yang menurut Ibu layak ditolak lamarannya?"


Zahrana diam. Ia tidak tahu harus bagaimana. Ia masih belum tahu apa yang terjadi. Hasan melamarnya? Bagaimana mungkin? Akan tetapi ibunya sedemikian serius. Apa yang harus ia putuskan. Zahrana tetap diam.


"Diam berarti menerima. Saya pamit, Bu, mana ibunda tadi?"


Zahrana tersentak mendengar Bu Zul mau pamit. Ia berdiri mengikuti Bu Zul yang sudah berdiri.


"Ibu benar-benar serius?"


"Iya.”


"Hasan juga benar-benar serius?"


"Iya."


"Kalian sudah tahu kekuranganku dan mau menerimaku?”


"Iya. Tak ada manusia yang sempurna."


"Kalau begitu saya terima, tetapi dengan syarat."


"Apa syaratnya?"


"Akad nikahnya nanti malam bakda salat Tarawih di masjid. Biar disaksikan oleh seluruh jemaah masjid. Maharnya seadanya saja."


Kini gantian Bu Zul yang tersentak kaget. Ia tidak menduga Bu Zahrana akan mensyaratkan begitu.


"Apa enggak sebaiknya akadnya setelah Idulfitri saja."


"Tidak. Ibu sudah tahu kan cerita saya selama ini. Apa Ibu ingin saya mati kaku gara-gara saya tidak jadi nikah lagi? Saya tidak ragu dengan keseriusan ini. Saya hanya khawatir ada hal-hal di luar kekuasaan kita yang membatalkan rencana itu. Bagi saya, lebih baik ya nanti malam, atau tidak sama sekali."


Bu Zulaikha memandang wajah Zahrana lekat-lekat. Wajah yang teduh, tetapi sangat berkarakter.


"Baiklah. Dalam hal ini saya tidak memutuskan sendiri. Saya akan bicara sama anak dan keluarga. Saya pamit dulu. Setelah magrib nanti saya telepon."


Dokter berjilbab itu pulang setelah bersalaman dengan Zahrana dan ibunya. Zahrana memandang sedan dokter itu hingga hilang di tikungan. Ada kebahagiaan menyusup dalam hatinya, tetapi juga ada kecemasan. Ia memang lagi bahagia, tetapi untuk membentengi diri agar tidak kecewa lagi setelah kebahagiaan di depan mata, ia menganggap dialognya dengan Bu Zul tadi hanya main-main. Dialog latihan orang bermain drama atau sandiwara.


•••


Azan Magrib berkumandang. Tanda waktu buka puasa tiba. Zahrana meneguk kolak dan makan mendoan. Ada kenikmatan luar biasa saat buka. Kenikmatan yang susah diungkapkan dengan kata-kata.


Hanya orang-orang yang berpuasa saja yang bisa merasakannya. Pembicaraan dengan Bu Zul itu tidak Zahrana sampaikan kepada ibunya. Ia tak ingin ibunya kecewa jika yang diharapkan tak terjadi lagi.


Setelah salat Magrib Zahrana mendapat telepon dari Bu Zul.


"Bu Zahrana. Mengenai keputusan syarat yang Bu Zahrana ajukan, ini Ibu langsung dengar sendiri suara Hasan, ya."


Suara di ponsel Zahrana lalu berubah.


"Bu Zahrana, ini Hasan. Saya setuju dengan syarat Ibu. Ibu siapkan wali dan saksinya, saya akan siapkan maharnya dan penghulunya. Kami sekeluarga insya Allah berangkat sekarang, dan kami salat Isya di masjid dekat rumah Ibu."


"Kau serius, Hasan?”


"Iya, Bu."


"Kau bisa mencintaiku?"


"Iya, Bu."


"Kalau begitu, jangan lagi kau panggil aku Ibu. Panggil aku, Dik. Dik Zahrana. Coba, kau bisa enggak?"


Zahrana merasa tak perlu malu.


"Saya coba … Dik Zahrana, tunggu aku di masjid."


Mata Zahrana berkaca-kaca mendengarnya. Ribuan hamdalah menyesak dalam dada.


"Te … terima kasih. Kita bertemu di masjid, insya Allah."


Sambungan ditutup.


Zahrana menangis tersedu-sedu. Melihat hal itu sang ibu bingung dan bertanya-tanya pada Zahrana. Dengan terisak-isak Zahrana menjelaskan apa yang terjadi. Sang ibu turut menangis. Zahrana lalu sujud syukur. Dalam sujudnya Zahrana memohon kepada Allah agar akad nikah itu benar-benar terjadi. Tidak sekadar angan-angan dan mimpi.


Dan pada malam kedua di bulan suci Ramadan itu, apa yang diharapkan Zahrana terjadi. Akad nikah setelah salat Terawih disaksikan oleh jemaah yang membludak. Sebagian besar adalah tetangga Zahrana.


Mereka turut terharu. Saat akad nikah ibu Zahrana menangis tersedu-sedu. Beberapa ibu-ibu juga menangis.


Malam itu Zahrana sangat bahagia. Hasan juga merasakan hal yang sama. Usai akad nikah Hasan mengajak Zahrana naik mobilnya menuju hotel termewah di tengah kota Semarang. Di dalam hotel, dengan penuh kekhusyukan Zahrana menunaikan ibadahnya sebagai seorang istri. Ibadah yang sudah lama ia tunggu-tunggu bersama seorang suami.


Di mata Hasan, Zahrana yang tampak manis dengan jilbab putihnya ternyata jauh lebih manis ketika rambutnya terurai. Hanya dia yang tahu seperti apa manisnya Zahrana. Mereka berdua saling mengagumi, saling mencintai, dan saling menghormati.


Kebahagiaan Zahrana malam itu menghapus semua derita yang dialaminya. Tasbih selalu mengiringi tarikan napasnya. Ia semakin yakin, bahwa Allah bersama orang-orang yang sabar dan ihsan.


Malam itu, benar-benar malam kesaksian Zahrana atas tasbih, tahmid, dan takbir cinta yang didendangkan Allah 'Azza wa Jalla kepadanya.


Subhanallah wal hamdulillah, wa laa ilaaha illallaahu wallaahu akbar!

Komentar